Green Hajj: Masa Depan Ekonomi Hijau dalam Ibadah Haji dan Umrah
Kajian kontemporer tentang Green Hajj, ibadah haji ramah lingkungan yang mengintegrasikan nilai Islam, prinsip keberlanjutan, dan ekonomi hijau dalam pelaksanaannya.
BLOGARTIKELBERITAOPINIEKONOMI
Ibnu Khidhir
9/12/20253 min baca


Ibadah haji dan umrah adalah perjalanan spiritual yang telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu, menggerakkan jutaan umat Islam menuju Tanah Suci. Namun, di balik kesakralannya, perjalanan ini juga menghadirkan tantangan baru di era modern: jejak ekologis yang besar, mulai dari emisi karbon akibat transportasi udara, limbah plastik sekali pakai, hingga konsumsi energi yang masif di fasilitas perhotelan dan transportasi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana ibadah yang begitu agung ini bisa tetap dilaksanakan dengan penuh kekhusyukan tanpa mengabaikan tanggung jawab ekologis terhadap bumi. Dari sinilah gagasan “Green Hajj” atau haji ramah lingkungan mulai dibicarakan, bahkan didorong dalam berbagai forum internasional.
Sejak awal, Islam sudah memberikan dasar yang kuat untuk kesadaran ekologis. Al-Qur’an berulang kali menegaskan agar manusia tidak merusak bumi. Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
Wa lā tufsidu fil-ardhi ba‘da iṣlāḥihā
“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A‘raf [7]: 56)
Ayat ini menegaskan bahwa menjaga kelestarian bumi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban syar’i yang melekat pada peran manusia sebagai khalifah. Maka, ketika jutaan jamaah berkumpul di Makkah setiap tahunnya, tanggung jawab untuk menjadikan haji sebagai ibadah yang tidak menimbulkan kerusakan ekologis pun menjadi bagian dari amanah tersebut.
Jejak ekologis haji dan umrah cukup signifikan. Menurut laporan Saudi Green Initiative (2022), aktivitas haji setiap tahunnya menghasilkan sekitar 1,8 juta ton emisi karbon. Transportasi udara menjadi penyumbang terbesar, diikuti oleh penggunaan energi listrik untuk hotel, pendingin ruangan, serta transportasi lokal. Selain itu, penggunaan plastik sekali pakai untuk botol air zamzam dan kemasan makanan menghasilkan ribuan ton limbah yang sebagian besar sulit didaur ulang. Situasi ini menghadirkan dilema: bagaimana mungkin ibadah yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah justru menyisakan jejak kerusakan di bumi yang diamanahkan-Nya?
Konsep Green Hajj hadir sebagai jawaban. Green Hajj bukan sekadar program teknis, tetapi sebuah paradigma baru yang mengintegrasikan prinsip syariah, keberlanjutan ekologis, dan ekonomi hijau. Upaya yang sudah dilakukan antara lain penggunaan bus listrik di Makkah, pengoperasian kereta cepat Haramain yang mengurangi ketergantungan pada transportasi berbahan bakar fosil, pemanfaatan panel surya untuk sebagian fasilitas Masjidil Haram, hingga kampanye pengurangan sampah plastik dengan menyediakan botol isi ulang bagi jamaah. Semua itu menunjukkan bahwa transformasi menuju ibadah ramah lingkungan bukanlah hal yang mustahil.
Dalil-dalil syar’i juga mendukung arah ini. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis riwayat Muslim:
إِنَّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
Inna Allāha kariha lakum qīla wa qāla, wa katsrata as-su’āl, wa iḍā‘ata al-māl
“Sesungguhnya Allah membenci kalian banyak berkata-kata tanpa manfaat, terlalu banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Muslim no. 593)
Hadis ini secara implisit mengajarkan agar manusia tidak boros dan tidak menyia-nyiakan sumber daya. Menumpuk sampah makanan, membuang air secara berlebihan, atau menggunakan plastik sekali pakai secara masif jelas masuk dalam kategori isrāf (berlebihan) yang dilarang dalam syariat. Ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi bahkan menekankan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Dengan demikian, mengaitkan ibadah haji dengan prinsip keberlanjutan bukanlah pemikiran baru, melainkan justru pelaksanaan konkret dari ajaran Islam.
Lebih jauh, Green Hajj juga membuka pintu bagi tumbuhnya ekonomi hijau. Penerapan konsep ini dapat melahirkan industri halal-hijau, misalnya penyediaan perlengkapan haji berbahan daur ulang, konsumsi makanan organik, hingga sistem transportasi ramah lingkungan. Digitalisasi juga berperan besar, dengan hadirnya aplikasi e-visa, panduan haji digital, dan pengurangan penggunaan kertas yang berlebihan. Semua itu tidak hanya mengurangi jejak ekologis, tetapi juga memberi dampak ekonomi yang signifikan, menciptakan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan, teknologi ramah lingkungan, dan industri halal global. Dengan kata lain, Green Hajj menjadi model unik yang menghubungkan spiritualitas dengan keberlanjutan, sekaligus membuka jalan bagi integrasi Islam dengan wacana global tentang perubahan iklim.
Maka jelaslah bahwa Green Hajj bukanlah tren sesaat, melainkan kebutuhan mendesak di masa depan. Umat Islam memiliki peluang besar untuk menjadi teladan dalam mempertemukan dimensi ibadah dan ekologi. Jika haji adalah simbol kesatuan umat, maka Green Hajj dapat menjadi simbol bahwa umat Islam juga bersatu dalam menjaga bumi. Dengan demikian, ibadah haji tidak hanya menjadi perjalanan ruhani menuju Allah, tetapi juga perwujudan nyata dari amanah untuk merawat bumi, rumah bersama seluruh umat manusia.