Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...
Fenomena Haji Backpacker: Kemudahan, Tantangan, dan Regulasi
Bahas tuntas fenomena haji backpacker, celah visa ziarah, amil, turis, hingga aturan negara tanpa kuota. Ketahui peluang, tantangan, dan risiko hukumnya!
BLOGOPINIBERITAARTIKEL
Ibnu Khidhir
6/23/20254 min baca


Haji Backpacker: Solusi Instan di Tengah Panjangnya Antrean
Penyelenggaraan ibadah haji resmi di Indonesia dan banyak negara lain selalu dihadapkan pada tantangan utama: kuota yang terbatas dan daftar antrean yang sangat panjang. Di Indonesia, calon jamaah haji reguler bisa menunggu 15 hingga 30 tahun sebelum mendapatkan giliran berangkat ke Tanah Suci. Kondisi ini memunculkan fenomena haji backpacker—istilah bagi mereka yang menunaikan haji secara mandiri di luar jalur resmi pemerintah atau biro perjalanan haji terakreditasi.
Motivasi utama para backpacker adalah keinginan segera berhaji tanpa harus menunggu antrean dan membayar biaya mahal paket resmi. Perkembangan teknologi informasi, akses penerbangan internasional yang semakin mudah, serta munculnya berbagai jenis visa membuat fenomena ini semakin marak. Namun, jalur “instan” menuju Makkah ini tidak lepas dari tantangan besar dan risiko hukum yang berat.
Visa Ziarah: Celah dan Risiko di Balik Kemudahan
Salah satu cara paling populer yang ditempuh haji backpacker adalah menggunakan visa ziarah atau visa kunjungan. Visa jenis ini sebenarnya diterbitkan oleh pemerintah Arab Saudi untuk keperluan wisata religi atau mengunjungi keluarga di Saudi, dan tidak diperuntukkan bagi pelaksanaan haji.
Praktiknya, pemegang visa ziarah bisa tiba di Arab Saudi sebelum musim haji, lalu mencoba masuk ke area Makkah saat puncak ibadah. Metode ini memang pernah menjadi “jalan pintas” yang mudah karena proses pengurusan visa ziarah cenderung lebih cepat dan persyaratannya ringan dibanding visa haji resmi. Biaya pun lebih murah.
Namun, sejak 2019 hingga kini, aturan diperketat. Saudi mengaktifkan sistem pelacakan digital, penggunaan barcode, hingga penyekatan dan check point di semua pintu masuk Makkah dan masyair. Pada musim haji, hanya jamaah dengan visa haji resmi yang boleh masuk. Setiap tahun, ribuan pemegang visa ziarah yang kedapatan berhaji dideportasi, didenda, bahkan di-blacklist masuk Arab Saudi. Risiko ini kini semakin tinggi seiring kemajuan sistem digital Nusuk, CCTV, dan pengawasan di seluruh area vital haji.
Visa Amil: Peluang Sekaligus Risiko Besar
Selain visa ziarah, jalur lain yang kerap dipakai adalah visa amil—yakni visa yang diperuntukkan khusus bagi tenaga kerja atau petugas (amil) haji, seperti staf katering, kebersihan, supir, hingga tenaga medis. Pada dasarnya, visa amil hanya diberikan untuk individu yang terlibat aktif dalam pelayanan haji di Arab Saudi, di luar kuota jamaah resmi.
Namun, di lapangan, celah ini sering disalahgunakan. Ada oknum yang “menjual” visa amil kepada calon haji backpacker agar bisa masuk Makkah dan menunaikan ritual haji. Prosesnya lebih cepat dan relatif mudah didapat, sehingga menjadi peluang bagi mereka yang ingin menghindari antrean kuota.
Risiko penyalahgunaan visa amil sangat besar. Petugas keamanan Saudi sangat ketat memantau aktivitas pemegang visa amil—jika ditemukan sedang melaksanakan ibadah haji, mereka akan langsung dideportasi, dikenakan denda berat, dan di-blacklist. Selain itu, penyedia visa amil palsu atau calo juga bisa terjerat hukum berat di Arab Saudi.
Visa Turis dan Negara Tanpa Kuota Resmi: Fenomena Global
Perubahan kebijakan Arab Saudi sejak 2019 yang mulai membuka visa turis ke lebih banyak negara, juga melahirkan fenomena baru di dunia Muslim. Negara-negara yang tidak memiliki kuota haji resmi (umumnya minoritas Muslim atau negara kecil), seperti beberapa negara di Amerika Selatan, Eropa, Afrika, atau Asia Tengah, melihat peluang menggunakan visa turis untuk menunaikan haji.
Di beberapa kasus, warga negara-negara tersebut datang ke Saudi dengan visa turis biasa, lalu berusaha ikut serta dalam ritual haji. Ada pula yang menggunakan visa bisnis, seminar, atau kunjungan keluarga untuk masuk ke Saudi di musim haji.
Namun, aturan Arab Saudi sangat tegas: visa turis dan semua visa non-haji tidak berlaku untuk ibadah haji. Selama musim haji, sistem digital akan memblokir akses masuk ke Makkah dan masyair bagi pemegang visa non-haji. Pemeriksaan di bandara, jalan-jalan utama, hingga hotel dan apartemen di Makkah sangat ketat. Ribuan pelanggar tertangkap setiap musim haji, didenda, dideportasi, dan dilarang masuk Saudi selama bertahun-tahun.
Meski begitu, ada negara-negara tertentu yang terus mencari celah. Misal, beberapa komunitas Muslim di Amerika Latin, Eropa Timur, atau Afrika yang belum punya kuota resmi, sering menggunakan jaringan komunitas untuk “menitip” identitas pada negara lain, atau masuk dengan visa non-haji sembari berharap lolos dari pengawasan. Namun, peluang ini makin kecil seiring digitalisasi dan kerja sama Saudi dengan banyak negara.
Dampak, Tantangan, dan Regulasi
Praktik haji backpacker dengan segala celah visa—ziarah, amil, turis—memang menawarkan kemudahan dan peluang untuk berhaji lebih cepat dan murah, tanpa harus menunggu puluhan tahun. Namun, risikonya semakin besar setiap tahun.
Tantangan logistik harus dihadapi sendiri: mulai dari penginapan, transportasi, hingga kesehatan tanpa perlindungan negara. Jamaah juga berisiko tidak mendapat bimbingan manasik, kesulitan menjalani rukun dan wajib haji, atau bahkan gagal memperoleh pengalaman spiritual secara sempurna.
Dari sisi hukum, pemerintah Indonesia melarang dan tidak merekomendasikan jalur ini. Praktik haji backpacker dinilai melanggar regulasi nasional dan internasional, bisa merugikan jamaah resmi, serta menimbulkan masalah diplomatik. Agen perjalanan yang terbukti menawarkan atau memfasilitasi jalur ilegal juga dapat dikenai sanksi administratif dan pidana.
Arab Saudi pun semakin memperketat pengawasan dengan sistem barcode, e-tiket, aplikasi Nusuk, pengawasan CCTV, hingga penerapan denda tinggi dan blacklist. Hal ini menjadikan fenomena haji backpacker, terutama dengan visa non-haji, makin berisiko dan sulit dilakukan.
Pilihan, Etika, dan Masa Depan Haji Backpacker
Haji backpacker lewat celah visa ziarah, amil, turis, atau negara tanpa kuota memang memberi harapan bagi banyak Muslim yang ingin berhaji lebih cepat. Namun, praktik ini penuh risiko hukum, etika, dan tantangan logistik yang berat. Bagi umat Islam, berhaji bukan sekadar soal sampai ke Tanah Suci, tetapi juga soal keabsahan syarat, tata cara ibadah, dan ketaatan pada hukum negara serta syariat Islam.
Di masa depan, dengan digitalisasi dan pengawasan lintas negara yang semakin kuat, peluang “menyelip” lewat visa non-haji makin sempit. Pilihan terbaik tetaplah menempuh jalur resmi, bersabar dalam antrean, dan berdoa agar Allah mudahkan jalan menuju Baitullah—agar haji yang dijalankan benar-benar mabrur, sah, dan diberkahi.