Umrah dan Perdagangan Internasional: Jejak Ekonomi dari Quraisy Hingga Era Modern
Mengulas hubungan erat antara ibadah umrah dengan perdagangan internasional sejak masa Quraisy hingga era modern. Artikel ini menyingkap dimensi ekonomi global yang lahir dari ritual suci, lengkap dengan kajian sejarah, hadis, dan pandangan ilmuwan kontemporer.
BLOGARTIKELBERITAOPINIEKONOMI
Ibnu Khidhir
10/28/20253 min baca


Sejarah ibadah umrah tidak hanya berkaitan dengan dimensi spiritual, tetapi juga erat kaitannya dengan dinamika ekonomi. Sejak zaman pra-Islam, khususnya masa kepemimpinan suku Quraisy di Makkah, ritual umrah dan haji telah menjadi magnet yang menarik kedatangan kabilah-kabilah dari seluruh Jazirah Arab. Fenomena ini melahirkan hubungan ekonomi yang secara tidak langsung membentuk cikal bakal perdagangan internasional. Dengan posisi Makkah sebagai pusat spiritual, juga sebagai jalur lintas perdagangan, ibadah umrah selalu menjadi motor penggerak mobilitas manusia dan barang sejak berabad-abad silam.
Al-Qur’an sendiri menyinggung realitas ini dalam firman Allah:
﴿لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ، إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ﴾
Liīlāfi Quraisy, īlāfihim rihlatash-syitā’i wash-shaīf
"Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas." (QS. Quraisy: 1-2)
Ayat ini menggambarkan dua tradisi dagang besar suku Quraisy, yaitu perjalanan musim dingin menuju Yaman dan musim panas ke Syam. Perjalanan ini tidak hanya memperkuat posisi Quraisy dalam ekonomi regional, tetapi juga terkait erat dengan aktivitas jamaah yang datang ke Makkah untuk berhaji dan berumrah. Para jamaah sering membawa komoditas dari daerah asal mereka, sekaligus membeli barang-barang yang diperoleh Quraisy dari rute dagang internasional tersebut. Dengan demikian, ibadah ritual secara langsung terhubung dengan pertukaran ekonomi lintas batas.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun tumbuh dalam tradisi ekonomi Quraisy. Sebagai seorang pemuda, beliau terlibat dalam perdagangan ke Syam bersama kafilah dagang, dan kemudian dipercaya untuk memimpin usaha dagang milik Khadijah Radhiyallahu ‘Anha. Aktivitas perdagangan ini tidak bisa dipisahkan dari konteks ibadah yang berlangsung di Makkah. Ketika jamaah dari berbagai wilayah datang untuk umrah atau haji, Makkah berubah menjadi pasar besar tempat berlangsungnya transaksi internasional. Bahkan, beberapa ulama sejarah menilai bahwa ibadah umrah telah menciptakan "mekanisme pasar multilateral" pertama di dunia Arab.
Dalam hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menyinggung tentang keutamaan Makkah sebagai pusat spiritual:
«وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ»
Wallāhi innaki lakhayru ardhillāh, wa aḥabbu ardhillāhi ilallāh
“Demi Allah, engkau (wahai Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah dan bumi yang paling dicintai Allah.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan posisi istimewa Makkah yang tidak hanya sakral dari sisi ibadah, tetapi juga menjadi pusat peradaban ekonomi karena mobilitas manusia yang datang dan pergi. Fakta bahwa Quraisy menjadi pengelola Ka’bah semakin menguatkan kedudukan mereka sebagai pusat distribusi barang dan jasa.
Seiring perkembangan Islam, hubungan antara ibadah umrah dan perdagangan internasional tidak terhenti pada masa Quraisy saja. Pada era Khilafah, khususnya Abbasiyah, jamaah umrah yang datang dari berbagai wilayah membawa serta tradisi perdagangan lintas benua. Jalur sutra, jalur laut India, dan koneksi dagang Afrika Timur semuanya bersinggungan dengan arus jamaah haji dan umrah. Para pedagang Muslim dari Andalusia hingga Asia Tengah memanfaatkan momentum perjalanan ibadah sebagai peluang untuk memperluas jaringan bisnis. Para sejarawan seperti Ibn Khaldun mencatat bahwa aktivitas ibadah tahunan ini memacu lahirnya pasar internasional di sekitar Hijaz.
Dari perspektif ekonomi modern, fenomena ini bisa dipahami sebagai embrio “ekonomi religi” yang bertransformasi menjadi “ekonomi global.” Menurut Dr. Abdul Aziz al-Sadhan dalam kajiannya mengenai sejarah haji dan umrah, keberadaan jamaah lintas negara telah menciptakan sistem pertukaran budaya, teknologi, bahkan ideologi ekonomi sejak abad pertengahan. Hal ini menjadikan umrah tidak sekadar ritual, tetapi juga jembatan peradaban.
Hari ini, fenomena serupa masih berlangsung, meskipun dengan skala yang jauh lebih besar. Umrah modern mendatangkan jutaan jamaah setiap tahun. Data dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi menunjukkan bahwa pada tahun-tahun sebelum pandemi, jumlah jamaah umrah internasional mencapai lebih dari 18 juta orang. Mereka tidak hanya menjalankan ibadah, tetapi juga berkontribusi pada perekonomian global melalui sektor penerbangan, perhotelan, pariwisata, transportasi, hingga perdagangan oleh-oleh yang mendunia.
Dalam kajian kontemporer, para ekonom menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “religious tourism economy.” Profesor Timur Kuran, seorang sejarawan ekonomi Islam, menyatakan bahwa mobilitas jamaah haji dan umrah berperan sebagai "catalyst of globalization," yaitu katalisator globalisasi ekonomi sebelum istilah globalisasi itu dikenal. Ia menekankan bahwa sejak abad ke-8, ibadah di Makkah sudah mempertemukan pedagang, ilmuwan, dan peziarah dari berbagai penjuru dunia yang kemudian membentuk jaringan ekonomi transnasional.
Di era modern, Arab Saudi mengelola sektor ini dengan strategi ekonomi yang terintegrasi, termasuk proyek Vision 2030 yang menargetkan Makkah dan Madinah sebagai pusat pariwisata religi dunia. Ibadah umrah tetap menjadi titik sentral, tetapi dampak ekonominya meluas ke banyak sektor. Hotel-hotel, maskapai penerbangan, logistik, hingga industri kecil menengah di berbagai negara asal jamaah turut merasakan dampaknya. Misalnya, industri tekstil di Indonesia, India, dan Turki berkembang pesat karena permintaan pakaian ihram, sementara produk makanan khas negara-negara Muslim mengisi pasar oleh-oleh di Tanah Suci.
Fenomena ini menunjukkan bahwa umrah tidak bisa dilepaskan dari perdagangan internasional. Dari zaman Quraisy hingga era globalisasi, ibadah yang sakral ini selalu menjadi penghubung antara spiritualitas dan ekonomi. Pertanyaan mendasar yang dapat kita renungkan adalah: apakah dimensi ekonomi ini justru memperkaya makna umrah atau sebaliknya berpotensi menggeser fokus ibadah itu sendiri? Para ulama menekankan pentingnya menjaga niat dan kemurnian ibadah, sekaligus tidak menafikan manfaat sosial-ekonomi yang lahir dari aktivitas besar ini.
Dengan demikian, perjalanan panjang umrah sejak masa Quraisy hingga hari ini adalah cermin keterhubungan antara agama dan ekonomi global. Umrah tidak hanya membentuk kesalehan individu, tetapi juga mencetak jaringan perdagangan yang memperkuat peradaban dunia Islam. Dan hingga kini, gema perdagangan internasional itu masih terasa setiap kali jutaan orang dari berbagai bangsa menapakkan kaki mereka di Tanah Suci.