Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...

Inilah Alasan Abrahah Ingin Hancurkan Ka’bah

Ungkap fakta dan latar belakang mengapa Abrahah ingin menghancurkan Ka’bah. Kisah pasukan gajah, ambisi, dan sejarah penuh hikmah yang jarang dibahas!

SEJARAHBLOGARTIKEL

Ibnu Khidhir

6/24/20257 min baca

Kisah Abrahah dan pasukan gajah yang ingin menghancurkan Ka’bah menjadi salah satu cerita paling populer dalam sejarah Islam, bahkan diceritakan langsung dalam Al-Qur’an pada Surah Al-Fil. Namun, tak banyak yang tahu alasan mendalam di balik ambisi Abrahah yang begitu besar untuk menyerang dan meruntuhkan Ka’bah, Baitullah yang suci dan dihormati oleh umat manusia sejak zaman Nabi Ibrahim.

Mengapa Abrahah begitu nekat ingin menghancurkan Ka’bah? Apa saja latar belakang politik, ekonomi, dan spiritual di balik peristiwa ini? Artikel ini akan membedah secara lengkap tentang motif dan tujuan Abrahah, jalannya ekspedisi pasukan gajah, serta hikmah besar di balik sejarah Ka’bah yang tetap berdiri kokoh hingga hari ini.

Latar Belakang Sejarah: Ka’bah dan Posisi Makkah di Jazirah Arab

Untuk memahami ambisi Abrahah, kita perlu memahami dulu posisi Ka’bah dan kota Makkah pada masa pra-Islam. Ka’bah adalah rumah ibadah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimas salam sebagai simbol tauhid, menjadi pusat ziarah dan ibadah di tengah padang pasir Jazirah Arab. Ribuan tahun lamanya, Ka’bah menjadi pusat perhatian dan daya tarik spiritual bagi berbagai kabilah Arab dan bangsa-bangsa sekitarnya.

Selain makna keagamaan, Ka’bah dan kota Makkah berkembang sebagai pusat perdagangan dan ekonomi. Setiap tahun, ribuan orang dari berbagai penjuru Arab datang untuk berziarah dan berdagang, menjadikan Makkah kota yang makmur. Kota ini bebas dari kekuasaan imperium besar seperti Romawi atau Persia, dan memiliki status “tanah haram” yang disucikan, sehingga relatif aman dari konflik.

Abrahah, Yaman, dan Ambisi Keagamaan

Abrahah al-Ashram adalah seorang gubernur Kristen yang diangkat oleh kerajaan Aksum (Habasyah/Ethiopia) untuk memerintah Yaman pada abad ke-6 Masehi. Yaman saat itu merupakan wilayah strategis yang menghubungkan perdagangan laut dan darat antara India, Afrika, dan Jazirah Arab. Abrahah dikenal sebagai pemimpin ambisius yang ingin memperluas pengaruh politik dan agama Kristen di Arabia.

Salah satu langkah besar Abrahah adalah membangun sebuah gereja megah bernama Al-Qullays di ibu kota San’a, Yaman. Gereja ini dibangun dengan arsitektur megah, bahan bangunan terbaik, dan dirancang sebagai pusat peribadatan Kristen yang bisa menyaingi popularitas Ka’bah di Makkah. Abrahah menginginkan agar bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain mengalihkan ziarah mereka dari Ka’bah ke gereja Al-Qullays.

Namun, kenyataannya, meski gereja itu indah dan didukung penguasa, bangsa Arab tetap setia menziarahi Ka’bah. Hal ini membuat Abrahah marah dan sakit hati, karena investasinya dianggap sia-sia, dan status gereja barunya tidak mampu “menggusur” pamor Ka’bah.

Provokasi dan Puncak Konflik: Ka’bah Jadi Target Abrahah

Ketegangan memuncak ketika, menurut riwayat sejarah, gereja Al-Qullays dinodai dan dirusak oleh sekelompok Arab yang tersinggung karena merasa ajakan Abrahah untuk meninggalkan Ka’bah adalah penghinaan. Ada pula riwayat bahwa seseorang dari Quraisy sengaja mencemari gereja tersebut sebagai bentuk penolakan simbolik.

Insiden ini dijadikan dalih oleh Abrahah untuk menyerang Ka’bah. Ia mengklaim ingin membalas penghinaan atas rumah ibadahnya, padahal di balik itu ada motif politik dan ekonomi: jika Ka’bah hancur, maka orang-orang Arab akan kehilangan pusat ziarahnya, lalu beralih ke gereja Al-Qullays di Yaman. Abrahah pun mempersiapkan ekspedisi militer terbesar yang pernah diarahkan ke Makkah, lengkap dengan pasukan gajah sebagai simbol kekuatan dan ancaman yang luar biasa bagi penduduk Arab.

Pasukan gajah dalam tradisi Arab adalah sesuatu yang sangat asing dan menakutkan—belum pernah ada kekuatan militer di Arabia yang membawa gajah perang sebagaimana yang dilakukan Abrahah. Taktik ini dirancang untuk menebar teror psikologis dan menegaskan kekuatan imperium Habasyah atas bangsa Arab yang selama ini dianggap lemah.

Motif Ekonomi dan Perebutan Jalur Dagang

Selain faktor agama dan harga diri, para sejarawan mengungkapkan bahwa motif ekonomi dan dominasi jalur perdagangan turut melatarbelakangi keputusan Abrahah. Ka’bah menjadi magnet ekonomi; para pedagang, pelancong, dan kabilah-kabilah datang ke Makkah, membawa kemakmuran dan kekuatan finansial bagi penduduk Quraisy.

Dengan menghancurkan Ka’bah, Abrahah berharap lalu lintas perdagangan akan beralih ke Yaman, sehingga San’a—di mana Al-Qullays berada—akan menjadi pusat baru ekonomi dan spiritual Arabia. Strategi ini bisa menambah kekayaan dan kekuatan politik Abrahah, sekaligus menegaskan dominasi agama Kristen atas tradisi kuno Arab yang masih kuat berpegang pada warisan Ibrahim.

Tidak heran jika ekspedisi Abrahah ke Makkah bukan sekadar misi “balas dendam agama”, tapi merupakan upaya sistematis merebut supremasi ekonomi, politik, dan keagamaan dari Quraisy yang dianggap sebagai penghalang utama agenda besarnya.

Kisah Perjalanan Pasukan Gajah dan Reaksi Quraisy

Abrahah pun memulai perjalanan besarnya dari Yaman ke Makkah dengan pasukan yang besar, lengkap dengan gajah-gajah perang yang dipimpin gajah utama yang paling besar. Dalam perjalanan, beberapa kabilah yang mencoba melawan dilibas tanpa ampun. Sebagian besar kabilah Arab memilih mundur, karena sadar tidak sanggup menghadapi kekuatan militer sebesar itu.

Ketika pasukan Abrahah tiba di pinggiran Makkah, mereka mulai mengambil unta-unta dan harta benda milik penduduk, termasuk milik Abdul Muthalib, pemimpin Quraisy sekaligus kakek Nabi Muhammad SAW. Menyadari situasi genting, Abrahah mengirim utusan kepada para pembesar Quraisy untuk menyampaikan pesan: Ia tidak berniat memerangi penduduk Makkah, hanya ingin menghancurkan Ka’bah. Jika penduduk tidak menghalangi, mereka tidak akan dilukai.

Abdul Muthalib pun meminta untuk bertemu langsung dengan Abrahah. Dalam pertemuan bersejarah itu, Abdul Muthalib tampil tenang dan penuh wibawa. Ia tidak meminta ampunan atau perlindungan untuk kota Makkah, tetapi justru memohon agar unta-untanya yang dirampas dikembalikan. Abrahah sempat heran dan berkata, “Ketika aku melihatmu, aku kagum padamu. Tapi saat engkau hanya meminta unta-untamu, aku merasa engkau lebih mementingkan harta pribadi daripada keselamatan Ka’bah, yang menjadi agama dan kehormatan kaummu.”

Abdul Muthalib dengan bijak menjawab, “Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan aku bertanggung jawab atasnya. Sedangkan Ka’bah, ia punya Pemilik sendiri yang akan menjaganya!” Jawaban ini mengejutkan Abrahah, tapi ia tetap pada niatnya untuk menghancurkan Ka’bah. Unta-unta Abdul Muthalib dikembalikan, dan pertemuan pun usai.

Abdul Muthalib kembali ke Makkah dan segera memerintahkan seluruh penduduk Quraisy meninggalkan kota, berlindung ke pegunungan sekitar Makkah. Namun sebelum pergi, ia menyempatkan diri bersama beberapa tokoh Quraisy mendatangi Ka’bah, berdoa di pintu gerbangnya dan menggantungkan diri sepenuhnya pada perlindungan Allah SWT. Dalam riwayat, doanya terekam penuh kekhusyukan dan tawakkal:

"Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu ini hanya mampu melindungi miliknya, maka lindungilah Engkau rumah-Mu. Jangan biarkan mereka mengalahkan kekuatan dan kehormatan-Mu atas rumah ini, dan cegahlah mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.”

Setelah itu, Abdul Muthalib naik ke puncak gunung Abu Qubais bersama kaum Quraisy, menyaksikan dari kejauhan apa yang akan terjadi pada Ka’bah. Di atas gunung, ia terus berdoa dan menyerahkan sepenuhnya urusan Ka’bah kepada Allah, penuh keyakinan bahwa pertolongan Allah pasti akan datang. Ini adalah titik krusial yang menandai kemenangan iman dan tawakkal atas segala bentuk kekuatan duniawi.

Sikap pasrah dan keikhlasan Abdul Muthalib, serta keyakinan bahwa Allah sendirilah penjaga Ka’bah, menjadi momen paling penting dalam sejarah ini—menunjukkan bahwa kekuatan spiritual dan keimanan jauh lebih utama daripada kekuatan fisik. Quraisy tidak memilih perlawanan militer, melainkan percaya pada janji dan perlindungan Allah SWT.

Kenapa Abrahah Gagal Menghancurkan Ka’bah?

Ketika fajar menyingsing dan pasukan Abrahah bersiap untuk melangkah menuju Ka’bah, peristiwa luar biasa pun terjadi—sebuah momen yang diabadikan Allah SWT dalam Surah Al-Fil dan menjadi salah satu mukjizat paling agung dalam sejarah Makkah. Penduduk Quraisy yang berlindung di puncak-puncak gunung menyaksikan dari kejauhan dengan penuh kecemasan dan harap.

Dalam sekejap, langit Makkah dipenuhi oleh kawanan burung kecil yang datang secara berbondong-bondong dari arah laut, dikenal dalam Al-Qur’an dengan sebutan “abābil”. Setiap burung ababil itu membawa tiga buah batu kecil dari tanah yang terbakar (sijjil): satu di paruh dan dua di masing-masing kakinya. Batu-batu itu bukan batu biasa—para ulama tafsir menyebutnya sebagai batu dari neraka yang amat panas, kecil namun mematikan.

Saat pasukan gajah mulai diarahkan ke Ka’bah, tiba-tiba gajah-gajah itu berhenti dan menolak maju, meski dipukul dan dipaksa oleh para tentaranya. Pemimpin gajah, yang paling besar, bahkan berlutut dan menolak bergerak, sementara seluruh kawanan burung ababil mulai melemparkan batu-batu panas ke arah pasukan Abrahah. Setiap orang yang terkena batu itu langsung tersungkur, tubuhnya berlubang atau terkena penyakit menular yang mematikan. Pasukan Abrahah menjadi kocar-kacir, banyak yang binasa seketika atau melarikan diri dalam kepanikan.

Batu-batu kecil itu mengenai sasaran dengan sangat akurat—tak satu pun tentara selamat jika terkena lemparan. Bahkan, riwayat menyebutkan, kulit dan daging mereka rontok serta tubuh mereka hancur sedikit demi sedikit. Gajah-gajah pun ikut terserang penyakit dan banyak yang tewas di tempat. Abrahah sendiri terluka parah; tubuhnya mulai hancur secara perlahan, dan dengan sisa tenaga ia kembali ke Yaman dalam keadaan sakit keras, lalu meninggal dunia tak lama setelah sampai di negerinya.

Surah Al-Fil mengabadikan peristiwa ini dalam ayat-ayatnya:

"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung ababil, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari sijjil, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)." (QS. Al-Fil: 1–5)

Peristiwa ini menjadi bukti abadi bahwa Ka’bah benar-benar berada dalam perlindungan langsung Allah SWT. Tidak ada kekuatan militer sehebat apapun, teknologi secanggih apapun, atau strategi sebesar apapun yang dapat mengalahkan kehendak dan kuasa-Nya. Allah menghancurkan pasukan terbesar yang pernah menyerang Makkah tanpa bantuan tangan manusia—semua terjadi atas mukjizat dan kekuasaan-Nya yang mutlak.

Mukjizat perlindungan Ka’bah ini memberikan pelajaran mendalam bagi seluruh umat manusia: bahwa rumah Allah akan selalu dijaga oleh-Nya, dan siapa saja yang mencoba menodai kesuciannya pasti akan binasa. Kisah ini juga menjadi pengingat bahwa kemenangan hakiki bukan milik mereka yang kuat secara fisik atau jumlah, melainkan milik mereka yang benar, sabar, dan bertawakkal kepada Allah.

Kisah kehancuran pasukan Abrahah di tangan burung ababil kini menjadi bagian penting dalam sejarah Islam, diceritakan turun-temurun sebagai tanda keagungan Allah dan keistimewaan Ka’bah sebagai pusat tauhid dunia. Peristiwa ini pula yang kemudian mengukuhkan Makkah sebagai kota suci yang tak tersentuh oleh penaklukan, hingga akhirnya melahirkan Rasulullah Muhammad SAW pada tahun yang sama—Tahun Gajah—membuka era baru peradaban manusia dengan risalah tauhid yang suci.

Mengapa Kisah Abrahah Relevan untuk Generasi Kini?

Kisah ini tidak hanya penting untuk diketahui sebagai bagian dari sejarah Islam, tapi juga sebagai pelajaran universal tentang ambisi, kesombongan, dan kepercayaan pada kuasa Tuhan. Dalam era modern yang penuh persaingan dan kekuatan duniawi, kisah Abrahah menjadi pengingat bahwa sesuatu yang dijaga Allah pasti akan tetap kokoh, dan kemurnian niat serta keikhlasan akan selalu menang atas kepentingan sesaat.

Selain itu, narasi tentang Ka’bah, motif ekonomi-politik, serta dinamika kekuasaan pada masa lalu tetap relevan dalam membangun pemahaman lintas generasi: bahwa nilai-nilai spiritual dan keadilan harus tetap menjadi pondasi dalam membangun peradaban.

Alasan Abrahah ingin menghancurkan Ka’bah jauh lebih kompleks dari sekadar motif balas dendam agama. Di balik ambisinya tersembunyi agenda politik, ekonomi, dan supremasi kekuasaan yang ingin menyaingi posisi Makkah sebagai pusat spiritual dan ekonomi dunia Arab. Namun, sejarah membuktikan, Ka’bah tetap tegak berdiri, dijaga langsung oleh Allah SWT, sementara ambisi Abrahah hancur bersama pasukannya.

Kisah ini mengingatkan umat Islam untuk selalu menjaga niat, menjunjung tinggi nilai spiritual, dan berserah pada kehendak Allah dalam menghadapi tantangan zaman. Ka’bah tetap menjadi kiblat dunia, simbol tauhid, dan saksi sejarah keajaiban yang tak lekang dimakan waktu.