Ambisi Abrahah dan Misteri di Balik Serangan ke Ka'bah

Kisah Abrahah bukan sekadar serangan ke Ka’bah. Di baliknya tersimpan ambisi politik, ekonomi, dan kesombongan yang berakhir dengan kehancuran pasukan gajah. Pelajari kisah lengkapnya dan hikmah di balik perlindungan Allah terhadap rumah-Nya yang suci.

SEJARAHBLOGARTIKEL

Ibnu Khidhir

6/24/20255 min baca

Ambisi Abrahah dan Misteri di Balik Serangan ke Ka'bah

Setiap kisah besar dalam sejarah selalu menyimpan sisi yang tak sekadar terlihat di permukaannya. Begitu pula dengan kisah Abrahah al-Ashram dan pasukan gajahnya — sebuah peristiwa yang diabadikan langsung oleh Allah dalam Surah Al-Fil, namun sering kali hanya dikenal sebagai “cerita burung ababil”. Padahal di baliknya, tersimpan drama politik, perebutan pengaruh, dan ambisi manusia yang ingin menandingi pusat spiritual dunia: Ka’bah di Makkah.

Pertanyaan yang sesungguhnya perlu diajukan bukan sekadar “apa yang terjadi?”, melainkan “mengapa Abrahah begitu bernafsu menghancurkan Ka’bah?” Apa yang membuat seorang penguasa dari Yaman tega menantang rumah Allah, yang dijaga sejak zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam? Jawabannya ternyata lebih kompleks dari yang terlihat di kisah anak-anak.

Makkah Sebelum Serangan: Kota Tanpa Raja yang Disegani

Makkah pada abad ke-6 M bukanlah kota besar dengan istana megah atau benteng pertahanan. Ia hanyalah lembah tandus yang dikelilingi padang pasir, namun memiliki satu hal yang menjadikannya pusat dunia Arab — Ka’bah. Rumah ibadah ini menjadi magnet spiritual sekaligus ekonomi.

Bangsa Arab dari seluruh penjuru Jazirah datang ke Makkah setiap tahun untuk menunaikan ibadah haji dalam bentuk yang telah bercampur dengan tradisi pagan. Mereka berziarah, berdagang, dan membawa barang-barang dari Syam hingga Yaman. Makkah menjadi pusat pertemuan kabilah, tempat transaksi ekonomi sekaligus spiritual, yang menjadikan suku Quraisy begitu dihormati.

Menariknya, Makkah tidak memiliki raja. Tidak ada pasukan perang, tidak pula dinding pelindung kota. Namun, karena statusnya sebagai “Tanah Haram” dan karena di sanalah berdiri rumah Allah, semua kabilah menghormati wilayah ini. Tidak ada peperangan yang berani meletus di sekitarnya.

Kemandirian dan kemakmuran Makkah inilah yang menimbulkan kecemburuan di wilayah selatan: Yaman.

Abrahah dan Cita-Cita Besar dari Selatan

Di Yaman, kekuasaan dipegang oleh Abrahah al-Ashram, seorang jenderal dari Habasyah (Ethiopia) yang menjadi gubernur setelah menaklukkan wilayah itu dari kekuasaan lokal Himyar. Abrahah bukan hanya penguasa politik, tapi juga seorang misionaris Kristen yang berambisi menjadikan Yaman sebagai pusat baru agama dan peradaban di jazirah Arabia.

Ia memerintah atas nama Kaisar Aksum, kerajaan Kristen terbesar di Afrika Timur kala itu, dan berusaha memperluas pengaruh iman Kristen ke seluruh Semenanjung Arab. Dalam pandangannya, selama Ka’bah berdiri dan menjadi tujuan utama ziarah bangsa Arab, maka upaya dakwahnya akan selalu gagal. Ka’bah adalah simbol tauhid dan juga tradisi lama bangsa Arab yang menolak tunduk pada kekuasaan luar.

Abrahah pun memutuskan untuk menciptakan tandingan. Ia membangun gereja megah bernama Al-Qullays di kota San’a, Yaman. Bangunan ini diciptakan dengan arsitektur luar biasa — dinding tinggi dari batu pualam, atap berlapis emas, dan ukiran dari bahan langka. Tujuannya jelas: menarik perhatian bangsa Arab agar meninggalkan Ka’bah dan beralih berziarah ke Yaman.

Namun, waktu menunjukkan bahwa kekuatan spiritual tidak bisa digantikan dengan kemewahan. Meski gereja itu indah dan didukung kekuasaan besar, bangsa Arab tetap datang ke Ka’bah setiap tahun. Al-Qullays nyaris sepi, dan ambisi Abrahah menjadi bahan ejekan di kalangan kabilah. Rasa malu bercampur gengsi, dan perlahan berubah menjadi amarah.

Dari Provokasi ke Ekspedisi

Sumber sejarah menyebutkan bahwa suatu hari, seorang Arab dari Quraisy atau kabilah lain yang tersinggung oleh propaganda Abrahah, datang ke Yaman dan mengotori gereja Al-Qullays — ada yang mengatakan dengan kotoran manusia. Bagi Abrahah, ini penghinaan besar. Ia bersumpah tidak akan tenang sampai Ka’bah, tempat yang dianggap sebagai “saingan gerejanya”, dihancurkan sampai rata dengan tanah.

Namun, di balik kemarahan itu, tersimpan strategi politik dan ekonomi yang jauh lebih matang. Abrahah tahu bahwa selama Ka’bah menjadi pusat ziarah, maka perdagangan akan selalu mengalir ke Makkah, bukan ke San’a. Menghancurkan Ka’bah berarti menghancurkan jantung ekonomi Quraisy, dan menjadikan Yaman sebagai pusat baru jalur niaga antara India dan Syam.

Ia mengumpulkan pasukan besar — menurut sebagian riwayat, lebih dari 60.000 tentara — dengan seekor gajah besar di barisan depan sebagai simbol kekuatan. Di dunia Arab kala itu, gajah adalah makhluk eksotis, tak pernah digunakan dalam perang. Kehadirannya saja sudah cukup menimbulkan ketakutan psikologis.

Ekspedisi itu kemudian dikenal sebagai Pasukan Gajah (Ashhabul Fil), dan kisahnya kelak menjadi bagian dari wahyu Ilahi.

Ketika Kekuatan Duniawi Menantang Rumah Allah

Perjalanan Abrahah dari San’a menuju Makkah memakan waktu lama. Dalam perjalanan, banyak kabilah berusaha menghalangi, tapi semuanya dikalahkan. Pasukan Abrahah seperti badai yang tak terbendung.

Setibanya di dekat Makkah, mereka menyita unta-unta milik penduduk, termasuk unta Abdul Muthalib — pemimpin Quraisy dan kakek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Abrahah mengirim utusan untuk menyampaikan maksudnya:

“Aku tidak ingin membunuh penduduk Makkah, aku hanya ingin menghancurkan Ka’bah.”

Abdul Muthalib kemudian menemui Abrahah secara langsung. Catatan sejarah menggambarkan pertemuan itu penuh wibawa. Abrahah kagum dengan ketenangan Abdul Muthalib dan berkata,

“Aku mengira engkau akan memohon agar aku tidak menghancurkan Ka’bah, tapi engkau malah meminta unta-untamu kembali?”

Abdul Muthalib menjawab dengan kalimat yang akan dikenang sepanjang masa:

“Aku adalah pemilik unta, maka aku menuntut hakku. Adapun Ka’bah, ia punya Pemilik yang akan menjaganya.”

Jawaban ini tidak hanya menunjukkan keteguhan iman, tapi juga sindiran tajam bagi Abrahah — bahwa manusia bisa mengklaim kepemilikan duniawi, tapi rumah Allah hanya dijaga oleh-Nya sendiri.

Abrahah tetap bersikeras. Ia mengembalikan unta Abdul Muthalib dan mempersiapkan pasukannya. Sementara itu, penduduk Quraisy meninggalkan Makkah, mencari perlindungan di perbukitan, meninggalkan Ka’bah dalam penjagaan langit.

Keajaiban Al-Fil: Ketika Langit Turun Tangan

Fajar menyingsing. Abrahah memerintahkan pasukannya bergerak. Namun, sesuatu yang aneh terjadi: gajah utama menolak melangkah ke arah Ka’bah. Gajah itu duduk dan tak mau maju, seolah menyadari bahwa ia sedang diperintah untuk menentang kehendak Tuhan. Ketika diarahkan ke arah lain, ia berjalan, tapi ke arah Ka’bah, ia berhenti lagi.

Tak lama kemudian, langit Makkah menjadi gelap. Burung-burung kecil berbondong datang dari arah laut — thayran ababil, seperti yang disebut dalam Al-Qur’an. Masing-masing membawa batu dari tanah terbakar (sijjil) dan melemparkannya ke arah pasukan Abrahah.

Batu-batu itu kecil, tapi mematikan. Siapa pun yang terkena langsung roboh. Tubuh mereka hancur, kulitnya rontok, hingga pasukan yang besar itu berubah menjadi lautan mayat. Tidak ada pedang Quraisy yang diangkat, tidak ada pasukan yang bertempur — Allah sendiri yang menurunkan hukuman-Nya.

Abrahah terluka parah dan melarikan diri ke Yaman. Tubuhnya membusuk sedikit demi sedikit, hingga mati dalam kehinaan. Sementara Ka’bah tetap berdiri — bersih, kokoh, dan terjaga sebagaimana janji Allah:

“Apakah engkau tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu memperlakukan pasukan bergajah?” (QS. Al-Fil: 1)

Di Balik Motif: Politik, Ekonomi, dan Kesombongan

Jika kita menelusuri lebih dalam, maka niat Abrahah bukan hanya karena dendam agama. Ia adalah bagian dari perebutan kekuasaan dan supremasi ekonomi. Ka’bah kala itu menjadi pusat perdagangan lintas kabilah, sementara Yaman, meski lebih subur dan maju, mulai ditinggalkan jalur niaganya.

Dengan menghancurkan Ka’bah, Abrahah berharap orang-orang akan mengalihkan perhatiannya ke San’a dan menjadikan Al-Qullays sebagai “Ka’bah baru”. Di balik nama besar gerejanya, tersimpan keinginan untuk memusatkan kekayaan, kekuasaan, dan keyakinan pada dirinya.

Namun sejarah membuktikan, setiap ambisi manusia yang menentang kehendak Allah akan berakhir dengan kehancuran. Sehebat apa pun perencanaan Abrahah, ia gagal menghadapi kekuatan yang tak terlihat — kekuatan doa, tawakkal, dan perlindungan Ilahi.

Hikmah Abadi dari Tahun Gajah

Kisah ini bukan sekadar dongeng masa lalu. Ia mengandung pesan yang relevan hingga kini: bahwa kekuasaan yang dibangun atas kesombongan akan runtuh, dan kemuliaan yang dijaga dengan iman akan kekal.

Menariknya, peristiwa ini terjadi hanya beberapa bulan sebelum kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tahun itu dikenal sebagai Tahun Gajah (ʿĀmul Fīl), yang menjadi awal dari kebangkitan cahaya risalah Islam. Seolah-olah Allah telah “membersihkan” panggung sejarah sebelum mengutus nabi terakhir untuk membawa kebenaran.

Kisah ini juga menjadi pengingat bahwa Ka’bah bukan sekadar bangunan batu. Ia adalah simbol tauhid, poros spiritual umat manusia, dan saksi bahwa kekuatan duniawi tidak akan pernah mampu mengalahkan kehendak Tuhan.

Relevansi untuk Umat Hari Ini

Jika kita renungkan, semangat Abrahah masih hidup di banyak bentuk kesombongan modern. Banyak penguasa dan sistem yang berusaha menggantikan nilai-nilai ilahiah dengan kepentingan duniawi. Mereka ingin membangun “Ka’bah versi baru” — pusat kekuasaan, uang, dan gengsi yang menyingkirkan Tuhan dari kehidupan.

Namun, seperti halnya Abrahah, setiap kekuasaan yang dibangun atas dasar kesombongan akan binasa pada waktunya. Sementara mereka yang menjaga nilai tauhid, meski tanpa kekuatan militer, akan tetap dilindungi oleh Allah sebagaimana Ka’bah dijaga dari kehancuran.

Rumah Allah Tak Pernah Terkalahkan

Kisah Abrahah adalah kisah tentang manusia yang mencoba menantang langit — dan gagal. Ia menjadi pelajaran abadi tentang perbedaan antara ambisi dan keikhlasan, antara kesombongan dan ketundukan.

Ka’bah hingga kini tetap berdiri di tengah Makkah, dikunjungi jutaan manusia setiap tahun. Sementara nama Abrahah hanya dikenang sebagai contoh kehancuran ambisi yang menentang kehendak Ilahi.

Dan sejak Tahun Gajah itu, sejarah manusia berubah selamanya — karena beberapa bulan kemudian, lahirlah bayi suci yang kelak membawa cahaya Islam ke seluruh dunia: Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.


Baca Juga:
>>Manasik Umrah Lengkap 2025: Panduan Doa, Tata Cara, dan Tips Jamaah
>>Niat Umrah Bersyarat: Doa Arab, Terjemahan, dan Penjelasan Lengkap
>>Fast Track Raudhah: Apa Itu, Cara Daftar, dan Keuntungan bagi Jamaah
>>Rahasia Bisa Masuk Raudhah Lebih dari Sekali dalam Sehari