Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...
Apakah Perayaan Maulid Ada di Masa Rasulullah?
Kajian akademis-populer tentang pertanyaan apakah perayaan Maulid sudah ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dilengkapi hadis, sejarah, serta pandangan ulama klasik dan modern.
BLOGHADISTSEJARAH ISLAMARTIKELBERITAOPINIFIQHSIRAH NABAWIYAH
Ibnu Khidhir
9/7/20253 min baca


Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang sangat populer di berbagai belahan dunia Islam, termasuk di Indonesia. Setiap bulan Rabi‘ul Awwal, masjid, pesantren, hingga komunitas muslim menggelar acara zikir, doa, pembacaan maulid, ceramah, hingga berbagi makanan. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah perayaan Maulid sudah ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?
Untuk menjawabnya, kita perlu melihat dalil dari hadis, pandangan sahabat, catatan sejarah Islam, serta analisis para ulama. Artikel ini akan mengulas secara mendalam dari perspektif ilmiah-populer, sehingga pembaca bisa memahami dengan jernih duduk persoalannya.
1. Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Merayakan Hari Kelahirannya?
Jika yang dimaksud dengan perayaan Maulid adalah sebuah acara tahunan berupa kumpul-kumpul, pembacaan doa, atau peringatan khusus, maka tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukannya.
Namun, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menandai hari kelahirannya dengan puasa Senin, sebagaimana hadis sahih:
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
Dzalika yaumun wulidtu fīhi, wayaumun bu‘itstu aw unzila ‘alayya fīhi
“Itu adalah hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkan wahyu kepadaku.”
(HR. Muslim no. 1162)
Hadis ini menjadi pijakan utama sebagian ulama yang menilai bahwa bersyukur atas kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah amalan yang disyariatkan, hanya saja bentuknya dalam sunnah adalah puasa Senin, bukan perayaan seremonial.
2. Bagaimana Sikap Para Sahabat terhadap Kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?
Para sahabat adalah generasi terbaik yang hidup langsung bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun, tidak ditemukan riwayat bahwa mereka pernah mengadakan perayaan tahunan khusus pada bulan Rabi‘ul Awwal untuk memperingati kelahiran beliau.
Penghormatan mereka terhadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditunjukkan melalui:
Meneladani sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari.
Menjaga syariat dengan penuh kesungguhan.
Menyampaikan hadis agar ajaran beliau terjaga.
Imam Ibn Katsir (w. 774 H) dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah menegaskan bahwa praktik Maulid dalam bentuk acara seremonial belum dikenal pada masa sahabat dan tabi‘in. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi tersebut lahir kemudian sebagai bentuk ekspresi cinta umat.
3. Kapan Tradisi Maulid Muncul dalam Sejarah Islam?
Sejarawan Islam mencatat bahwa perayaan Maulid baru muncul pada abad ke-4 Hijriyah. Tradisi ini populer di Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah, yang memperingati kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sekaligus tokoh-tokoh Ahlul Bait lainnya.
Beberapa catatan penting:
Dinasti Fatimiyah (Mesir, abad ke-4 H): disebut sebagai penggagas awal perayaan Maulid.
Eropa Abad Pertengahan: tradisi peringatan kelahiran tokoh agama juga marak, yang memengaruhi sebagian bentuk seremonial Islam.
Dinasti Ayyubiyah: perayaan Maulid berkembang dengan lebih luas dan mendapatkan dukungan sebagian ulama.
Menurut penelitian Dr. Abdul Hadi al-Fadli (sejarawan), Maulid berkembang menjadi salah satu sarana identitas budaya Islam dan media dakwah, bukan sekadar ritual keagamaan.
4. Pandangan Ulama Klasik: Bid‘ah atau Sunnah?
Perdebatan tentang Maulid sangat panjang dalam literatur Islam.
Ibn Taymiyyah (w. 728 H) dalam Iqtidā’ ash-Shirāt al-Mustaqīm:
Maulid adalah bid‘ah karena tidak pernah dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maupun sahabat, namun jika diisi dengan zikir dan doa, bisa mengandung pahala karena niat cinta kepada Nabi.
Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawi lil-Fatawi:
Maulid adalah bid‘ah hasanah (baik), karena di dalamnya terdapat syukur, doa, sedekah, dan peringatan terhadap kisah hidup Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H):
Menganggap Maulid bisa bernilai baik selama tidak dicampuri hal-hal mungkar.
Dari sini tampak bahwa sebagian ulama menolak Maulid sebagai bid‘ah, sementara yang lain menerimanya sebagai sarana dakwah dan ekspresi cinta.
5. Pandangan Ulama Kontemporer
Di era modern, pandangan ulama dan peneliti juga beragam:
Dr. Muhammad Sa‘id Ramadan al-Buthi: Maulid adalah sarana dakwah dan pengingat umat tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan ritual ibadah yang wajib.
Sheikh Yusuf al-Qaradawi: membolehkan Maulid dengan syarat diisi dengan hal-hal positif, bukan kemungkaran.
Dengan demikian, perayaan Maulid lebih dekat pada kategori ekspresi sosial-budaya umat Islam daripada ibadah murni yang ditetapkan syariat.
Jika ditarik garis besar:
Syariat yang jelas: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menandai kelahirannya dengan puasa Senin.
Tidak ada perayaan formal: Sahabat dan tabi‘in tidak mengenal Maulid sebagai acara.
Muncul sebagai budaya: Perayaan Maulid lahir dalam sejarah kemudian, dengan beragam bentuk sesuai konteks masyarakat muslim.
Hal ini sejalan dengan teori antropologi agama: banyak tradisi keagamaan berkembang sebagai ekspresi cinta dan penghormatan, meski tidak selalu berasal langsung dari nash syar‘i.
Pertanyaan “Apakah perayaan Maulid sudah ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?” dapat dijawab dengan tegas:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah merayakan Maulid dalam bentuk seremonial tahunan, melainkan hanya menandai hari kelahirannya dengan puasa Senin sebagai bentuk syukur.
Para sahabat juga tidak mengenal perayaan Maulid, karena fokus mereka adalah menjaga sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Perayaan Maulid baru muncul pada abad ke-4 H dan berkembang dalam sejarah sebagai tradisi budaya Islam.
Ulama berbeda pendapat: sebagian menolak sebagai bid‘ah, sebagian lain menerima sebagai bid‘ah hasanah atau sarana dakwah.
Dengan demikian, perayaan Maulid bukanlah bagian dari ibadah yang ditetapkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, melainkan ekspresi kultural umat Islam yang bisa bernilai positif bila diisi dengan doa, zikir, dan pengajaran akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jika perayaan maulid dianggap sebagai ibadah atau sebagai sebuah kewajiban, maka tentu perbuatan ini dianggap salah karena tidak pernah ada perintah dalam agama. Namun, Jika perayaan maulid dijadikan bagian dari kehidupan bermasyrakat, maka hukumnya akan menjadi mubah selama tidak bertentangan dengan hal-hal yang dilarang syariat. Wallahu A'lam