Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...
Dua Musuh Nabi yang Takluk oleh Bacaan Al-Qur’an
Inilah kisah nyata Abu Sufyan dan Abu Jahal diam-diam mendengarkan bacaan Al-Qur’an Nabi Muhammad di malam hari. Bukti kekuatan wahyu menembus hati.
SEJARAHBLOGSIRAH NABAWIYAHJEJAK RASUL
Ibnu Khidhir
7/20/20254 min baca


Pernahkah Anda membayangkan, bagaimana reaksi para penentang dakwah Nabi Muhammad SAW terhadap keindahan Al-Qur’an yang dilantunkan langsung oleh beliau? Kisah legendaris ini benar-benar terjadi di masa-masa awal dakwah Islam di Makkah. Ia bukan sekadar cerita, melainkan pelajaran abadi tentang kekuatan wahyu, keteguhan hati Nabi, dan betapa hati manusia bisa berubah oleh kebenaran ilahi—meski keras kepala sekalipun.
Latar Sejarah: Dakwah Rahasia di Tengah Kekerasan Quraisy
Pada tahun-tahun pertama kenabian, Nabi Muhammad SAW menghadapi penolakan, cemoohan, dan bahkan teror fisik dari para pembesar Quraisy. Namun, satu hal yang tak pernah beliau tinggalkan adalah melantunkan, membaca, dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an—terutama di malam hari, saat hiruk-pikuk Makkah mulai sepi.
Ibnu Ishaq dalam Sirah Nabawiyah (lihat juga Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir, dan Fathul Bari Ibnu Hajar) menuturkan sebuah peristiwa menggetarkan. Pada suatu malam, Nabi Muhammad SAW sedang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an di sekitar Ka’bah. Di saat sunyi itu, dua tokoh besar Quraisy—Abu Sufyan bin Harb dan Abu Jahal Amr bin Hisyam (riwayat lain menambah nama Al-Akhnas bin Syuraik)—merasa sangat penasaran. Selama ini mereka keras menolak ajaran Nabi, tetapi di balik hati mereka tersisa keraguan dan rasa ingin tahu.
Rasa Penasaran yang Tak Terbendung: Diam-diam ke Ka’bah
Abu Sufyan dan Abu Jahal—dua orang yang di siang hari paling gencar melawan dakwah Nabi—malam itu justru memilih menyelinap mendekati Nabi Muhammad SAW. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka mencari tempat tersembunyi di balik dinding-dinding Ka’bah, berharap tak ada yang mengenali mereka. Dari balik bayangan malam, mereka larut dalam keindahan bacaan Nabi.
Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Mereka tidak sadar akan kehadiran satu sama lain, masing-masing hanya didorong oleh keinginan kuat untuk mendengarkan.” ([Ibn Ishaq, Sirah Nabawiyah, edisi terjemah, Bab Dakwah Sirr])
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (syarah Sahih Bukhari) juga menyebut, Abu Sufyan dan Abu Jahal pada mulanya saling tidak mengetahui kehadiran masing-masing. Namun, setelah bacaan selesai dan fajar menyingsing, mereka pun pulang—dan tanpa diduga, bertemu satu sama lain di jalan. Sontak rasa malu pun timbul. Masing-masing mengakui kehadiran mereka dan saling memperingatkan, “Jangan pernah ulangi perbuatan ini lagi!” Namun, dorongan hati lebih kuat dari gengsi. Peristiwa itu terjadi tidak hanya sekali, tetapi sampai tiga malam berturut-turut.
Tiga Malam Berturut-turut: Kalah oleh Keindahan Wahyu
Malam kedua dan ketiga, peristiwa sama terulang lagi. Mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak kembali ke tempat itu—menjadi “penyimak rahasia” bacaan Al-Qur’an yang mereka hina di siang hari. Setiap kali fajar menyingsing, mereka saling menegur: “Bukankah kita sudah sepakat? Mengapa kembali lagi?” Namun, keindahan Al-Qur’an ternyata jauh lebih memikat hati daripada permusuhan yang selama ini dipertahankan.
Al-Imam Al-Tabari dalam Tafsir al-Tabari (juz 23, tafsir QS. Al-Qamar) mengutip cerita ini dan menambahkan bahwa setelah tiga malam berturut-turut, akhirnya mereka sungguh-sungguh bersumpah tidak akan mengulanginya. Namun, peristiwa tersebut telah membuka mata hati mereka akan sesuatu yang luar biasa dalam bacaan Nabi Muhammad SAW.
Pengakuan Abu Sufyan dan Al-Akhnas bin Syuraik
Dalam riwayat Ibnu Ishaq dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir (Al-Bidayah wan Nihayah), setelah malam-malam penuh rahasia itu, Al-Akhnas bin Syuraik menemui Abu Sufyan secara khusus. Ia bertanya, “Wahai Abu Sufyan, apa pendapatmu tentang apa yang kita dengar dari Muhammad?” Abu Sufyan menjawab, “Demi Allah, aku mendengar sesuatu yang aku pahami maknanya dan sesuatu yang aku tidak pahami. Tapi aku bersumpah, bukanlah syair, bukan pula sihir, bukan pula omongan manusia biasa.” ([Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, jilid 3])
Al-Akhnas pun berkata, “Aku pun berpendapat yang sama. Namun, tetap saja aku tidak akan mengikutinya.” Sifat gengsi, kepentingan politik, dan tekanan sosial membuat mereka memilih bertahan sebagai penentang, walaupun hati mereka merasakan pesona wahyu.
Tafsiran Para Ulama dan Pelajaran Abadi
Kisah ini bukan hanya dituturkan oleh ahli sirah sebagai anekdot semata, tetapi juga banyak dijadikan contoh oleh para ulama tafsir dan hadis sebagai bukti kekuatan Al-Qur’an. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menegaskan bahwa Allah ingin menunjukkan bahwa kebenaran akan sampai ke hati siapa pun yang mendengarnya dengan jujur—meski pada akhirnya manusia tetap diberi pilihan: menerima atau menolak karena alasan duniawi.
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim juga mengomentari peristiwa ini, menyebutkan bahwa kejadian tersebut adalah bukti tidak ada manusia (bahkan musuh terkeras Nabi) yang kebal terhadap keindahan dan daya ubah wahyu, jika Allah berkehendak. Banyak juga riwayat lain yang memperkuat kisah ini, di antaranya disebut dalam Syama’il Muhammadiyah Imam At-Tirmidzi dan Al-Rahiq Al-Makhtum Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri.
Refleksi: Hidayah Bisa Datang dari Mana Saja
Malam-malam rahasia Abu Sufyan dan Abu Jahal menjadi bukti bahwa Al-Qur’an punya daya tarik luar biasa, bahkan bagi hati yang keras dan penuh kebencian. Mereka memang tidak langsung masuk Islam, tetapi akhirnya Abu Sufyan menjadi salah satu sahabat besar setelah Fathu Makkah. Ini juga menjadi pelajaran bagi setiap penentang kebenaran: keras kepala hari ini, bisa jadi hidayah esok hari—semua atas kehendak Allah.
Kisah serupa terjadi pada Umar bin Khattab RA, yang awalnya keras menolak Islam, bahkan hendak membunuh Nabi Muhammad SAW. Namun, ketika secara tidak sengaja mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari adik perempuannya (QS. Thaha), hatinya bergetar dan akhirnya masuk Islam. Ini membuktikan bahwa hidayah bukan milik eksklusif siapa pun—semua manusia punya kesempatan jika mau membuka telinga dan hati.
Kekuatan Wahyu Menembus Segala Batas
Kisah Abu Sufyan dan Abu Jahal di malam sunyi Makkah adalah bukti sejarah bahwa kekuatan wahyu menembus benteng ego, tradisi, dan permusuhan. Riwayat mereka menjadi pengingat bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar, yang selalu mampu menggetarkan hati siapa pun—bahkan para penentang paling gigih.
Sebagai penutup, mari tanyakan pada diri sendiri: Sudahkah kita memberi kesempatan hati untuk benar-benar mendengar, merenung, dan terpesona oleh Al-Qur’an, seperti mereka—meski hanya sekali dalam hidup?
Referensi Utama:
Ibnu Ishaq, Sirah Nabawiyah
Ibnu Hajar, Fathul Bari
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah
Imam Al-Tabari, Tafsir al-Tabari
Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Al-Rahiq Al-Makhtum
Jika butuh kutipan Arab asli atau detail tambahan sumber, silakan request!