Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...
Haji Tanpa Mahram: Toleransi, Regulasi, dan Polemik Fiqih
Bahas lengkap fenomena haji tanpa mahram, toleransi beberapa negara, regulasi Arab Saudi, dan polemik fiqih di kalangan ulama.
FIQHARTIKELOPINIBLOG
Ibnu Khidhir
6/13/20253 min baca


Fenomena Haji Tanpa Mahram: Kebutuhan dan Kontroversi
Setiap tahun, ribuan Muslimah dari seluruh dunia berangkat ke Tanah Suci. Namun, tidak semua didampingi mahram—anggota keluarga laki-laki yang, menurut banyak pendapat ulama klasik, menjadi syarat utama perjalanan jauh bagi perempuan. Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena jemaah haji tanpa mahram semakin meningkat, seiring berkembangnya peran perempuan, perubahan regulasi, dan kemajuan transportasi global.
Isu ini memicu diskusi sengit di kalangan ulama, pemerintah, dan masyarakat. Banyak Muslimah ingin menunaikan rukun Islam kelima meski tanpa mahram, baik karena tidak punya kerabat laki-laki, keterbatasan ekonomi, atau kondisi keluarga. Di sisi lain, pertimbangan syariat, keamanan, dan perlindungan menjadi dasar utama dalam polemik ini.
Regulasi dan Kebijakan Arab Saudi serta Negara Pengirim
Secara tradisional, pemerintah Arab Saudi hanya mengizinkan perempuan menunaikan haji bila didampingi mahram. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, seiring kebutuhan global, Arab Saudi mulai membuka ruang toleransi dengan syarat tertentu. Misalnya, perempuan di atas 45 tahun boleh berhaji tanpa mahram, asalkan berangkat dalam kelompok perempuan resmi dan mengantongi surat izin keluarga atau wali.
Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan beberapa negara mayoritas Muslim lainnya aktif melakukan diplomasi agar Muslimah tetap bisa berhaji tanpa mahram. Kementerian Agama RI bahkan membentuk kelompok khusus jemaah perempuan tanpa mahram, lengkap dengan pendampingan dan perlindungan selama di Arab Saudi. Di sisi lain, negara-negara Barat dengan komunitas Muslim minoritas, seperti Australia, AS, atau negara Eropa, cenderung memfasilitasi Muslimah berhaji secara mandiri dengan menitikberatkan pada aspek keamanan dan pengawasan.
Fatwa Ulama: Indonesia, Mesir, dan Saudi
Perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang haji tanpa mahram terjadi sejak dulu dan semakin relevan di era modern. Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki, termasuk sebagian besar ulama Saudi, mensyaratkan adanya mahram bagi perempuan yang akan menunaikan haji, berdasar pada hadis Rasulullah SAW:
"Seorang perempuan tidak boleh bepergian kecuali bersama mahramnya." (HR. Bukhari-Muslim)
Namun, beberapa ulama dan otoritas fatwa di dunia Islam memberikan kelonggaran:
Indonesia: Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang membolehkan perempuan berhaji tanpa mahram asalkan berangkat bersama kelompok yang terpercaya dan mendapatkan jaminan keamanan. MUI berargumen bahwa konteks perjalanan zaman sekarang sangat berbeda dengan masa Nabi. Aspek keamanan dan fasilitas modern menjadi pertimbangan utama, dan jika memang tidak ada mahram serta keselamatan terjamin, larangan menjadi gugur demi menunaikan kewajiban haji.
Mesir: Dar Al-Ifta' Mesir dan mayoritas ulama Al-Azhar membolehkan perempuan berhaji tanpa mahram selama dalam kelompok aman, terutama jika tak ada mahram yang bisa mendampingi. Fatwa Mesir menekankan prinsip la haraj (tidak ada kesulitan dalam agama), serta mengambil mashlahah (kemaslahatan) bagi perempuan yang ingin menunaikan ibadah wajibnya.
Saudi Arabia: Dewan Ulama Besar Saudi pada dasarnya masih memegang pendapat wajib mahram, namun secara praktik, pemerintah Saudi telah melonggarkan aturan bagi perempuan usia tertentu dan dalam kondisi aman. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Saudi juga menerima jemaah perempuan tanpa mahram dari berbagai negara jika memenuhi syarat keamanan, surat izin keluarga, dan dalam kelompok resmi.
Pendapat lebih moderat juga diambil sebagian ulama kontemporer, misalnya, bila keamanan, transportasi, dan pengawasan memadai, serta syarat syariat lainnya terpenuhi, maka perempuan boleh berhaji tanpa mahram.
Praktik, Tantangan, dan Solusi di Lapangan
Walaupun ada kelonggaran regulasi, jemaah perempuan tanpa mahram tetap menghadapi tantangan di lapangan. Masalah utama adalah aspek keamanan, kenyamanan, hingga kebutuhan bimbingan ibadah dan layanan kesehatan khusus. Banyak negara pengirim, seperti Indonesia, Malaysia, dan Turki, membentuk kelompok perempuan khusus yang didampingi pembimbing dan petugas perempuan.
Selama di Arab Saudi, jemaah perempuan tanpa mahram disarankan selalu berkelompok, memanfaatkan jalur komunikasi darurat, dan mendapat pengawasan ekstra dari petugas haji. Pemerintah negara asal pun memberikan edukasi intensif tentang tata cara ibadah, perlindungan hukum, dan pendampingan psikologis untuk memastikan kenyamanan selama berhaji.
Adaptasi Syariat dan Kebijakan Zaman Modern
Polemik haji tanpa mahram menunjukkan adanya dinamika antara teks syariat, kebutuhan zaman, dan kondisi sosial global. Meskipun fiqih klasik mensyaratkan adanya mahram, fatwa-fatwa modern dari ulama Indonesia, Mesir, bahkan sebagian otoritas Saudi, telah membuka ruang toleransi dengan syarat keamanan, perlindungan, dan pembimbingan. Regulasi pemerintah Arab Saudi juga terus menyesuaikan kebijakan untuk mengakomodasi realitas ini.
Kunci utama bagi perempuan Muslimah yang ingin berhaji tanpa mahram adalah memastikan perjalanan berlangsung dalam kelompok aman, dengan izin keluarga, serta mendapatkan perlindungan penuh dari negara pengirim dan tuan rumah. Dengan kolaborasi regulasi, fatwa, dan dukungan teknologi, haji tetap dapat dilaksanakan sesuai syariat dan aman bagi seluruh jamaah, termasuk perempuan tanpa mahram.