Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...
Perjalanan Hijrah Nabi Muhammad: Mengapa Harus ke Madinah?
Kisah lengkap hijrah Nabi Muhammad ke Madinah: alasan, tantangan, kegagalan di Thaif, dan rencana pembunuhan Quraisy yang menggetarkan sejarah Islam.
JEJAK RASULSIRAH NABAWIYAHBLOG
Ibnu Khidhir
6/17/20255 min baca


Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa Rasulullah memilih Madinah sebagai tujuan hijrah, bukan kota lain seperti Thaif yang secara geografis lebih dekat dengan Makkah? Apa strategi dan peristiwa besar yang mewarnai hijrah ini, hingga menjadi titik balik paling penting dalam sejarah peradaban Islam?
Kisah hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah adalah satu dari sekian babak monumental dalam sirah nabawiyah. Bukan hanya sebuah perjalanan fisik, tapi merupakan fase transformatif yang menentukan arah perjuangan umat Islam. Untuk memahami mengapa Madinah menjadi pilihan, kita perlu menelusuri rentetan peristiwa sebelum hijrah, termasuk kegagalan diplomasi di Thaif, tekanan hebat di Makkah, dan munculnya ancaman pembunuhan terhadap Nabi.
Thaif: Harapan yang Sirna di Tengah Kekerasan
Setelah lebih dari satu dekade berdakwah di Makkah dengan hasil yang sangat sedikit, Rasulullah mulai melirik kota-kota lain sebagai alternatif basis dakwah. Salah satu kota yang dipilih adalah Thaif, sebuah kota sejuk di kaki gunung yang hanya berjarak sekitar 90 kilometer dari Makkah. Thaif dikenal memiliki kabilah besar dan kaya, yakni Bani Tsaqif, yang jika menerima Islam diyakini bisa menjadi pelindung kuat bagi Nabi dan kaum Muslimin.
Dengan penuh harap, Rasulullah SAW didampingi Zaid bin Haritsah berjalan kaki ke Thaif. Ia berdakwah kepada para pemuka Bani Tsaqif, menawarkan perdamaian dan ajakan kepada tauhid. Namun, bukan sambutan yang diterima, melainkan penolakan keras. Para pemuka Thaif bahkan memprovokasi rakyat kecil dan anak-anak untuk melempari Nabi dengan batu, hingga kaki beliau berdarah-darah. Rasulullah akhirnya berlindung di sebuah kebun milik dua bersaudara dari Quraisy, di mana beliau berdoa dengan penuh harap kepada Allah, menahan amarah dan dendam, bahkan memaafkan penduduk Thaif, seraya berdoa agar suatu hari mereka mendapatkan hidayah.
Kegagalan di Thaif adalah tamparan berat, tetapi juga tanda bahwa jalan dakwah harus diarahkan ke tempat lain. Tidak ada kabilah atau kota di sekitar Makkah yang benar-benar siap menanggung risiko menghadapi Quraisy demi membela Rasulullah. Upaya mengirim surat ke raja-raja sekitar dan kabilah Arab juga tak membawa hasil.
Makkah: Tekanan Memuncak dan Jalan Keluarnya Semakin Sempit
Setelah kegagalan di Thaif, Rasulullah kembali ke Makkah di bawah perlindungan Mut’im bin ‘Adi, seorang pembesar musyrik yang masih menjunjung tinggi tradisi perlindungan tamu. Namun situasi di Makkah makin memburuk. Pemboikotan ekonomi, siksaan, penghinaan, dan ancaman pembunuhan semakin menjadi-jadi, terutama setelah wafatnya dua pelindung utama Nabi: Abu Thalib dan Khadijah.
Di tengah tekanan itu, kaum Quraisy sepakat untuk menghabisi Rasulullah. Mereka sadar, jika Nabi Muhammad berhasil keluar dari Makkah dan membangun kekuatan di tempat lain, eksistensi Quraisy sebagai penguasa pusat keagamaan, ekonomi, dan politik di Jazirah Arab akan runtuh. Maka, mereka menyusun rencana jahat untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Dewan Quraisy, Darul Nadwah, mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai kabilah. Mereka diperintahkan untuk bersama-sama menyerang rumah Nabi di malam hari dan membunuh beliau serentak, agar darahnya tidak bisa dituntut satu kabilah saja. Rencana ini benar-benar matang, keji, dan nyaris tak ada celah bagi keselamatan Nabi.
Namun, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Rasulullah agar tidak tidur di rumahnya malam itu dan merencanakan strategi keluar bersama sahabat setia, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebagai pengalih perhatian, Ali bin Abi Thalib disuruh tidur di ranjang Nabi, sementara Rasulullah dan Abu Bakar menunggu di Gua Tsur selama tiga hari, menanti hingga para pengejar Quraisy lengah dan suasana aman untuk melanjutkan perjalanan.
Sinar Harapan dari Yatsrib (Madinah)
Di tengah jalan buntu itulah, Allah membukakan pintu dari arah utara: kota Yatsrib, yang kelak disebut Madinah. Kota ini secara sosial sangat berbeda dengan Makkah dan Thaif. Terdiri dari dua suku utama, Aus dan Khazraj, yang telah lelah berperang selama puluhan tahun, masyarakat Yatsrib mulai mencari pemersatu dan pemimpin baru. Di sisi lain, keberadaan komunitas Yahudi juga memberikan dinamika politik yang unik.
Setiap musim haji, delegasi dari Yatsrib datang ke Makkah. Dalam salah satu musim, sejumlah penduduk Yatsrib bertemu Nabi Muhammad dan tertarik dengan ajaran Islam. Mereka pulang membawa Islam ke Yatsrib, mengajarkannya diam-diam kepada keluarga dan tetangga. Pada tahun berikutnya, sekelompok orang Yatsrib kembali ke Makkah untuk bertemu Nabi, mengikrarkan Baiat Aqabah Pertama. Tahun berikutnya, lebih banyak lagi yang datang dan memberikan Baiat Aqabah Kedua, berjanji melindungi dan membela Rasulullah sebagaimana mereka melindungi keluarga sendiri.
Perjanjian ini bukan sekadar janji spiritual, tetapi komitmen politik dan keamanan yang belum pernah diberikan kota manapun kepada Nabi sebelumnya. Madinah pun siap menjadi rumah baru kaum Muslimin, menawarkan perlindungan penuh, lahan dakwah yang subur, dan kesempatan membangun masyarakat yang adil dan harmonis.
Proses Hijrah: Perjalanan yang Sarat Mukjizat
Hijrah tidak dilakukan serentak. Rasulullah memerintahkan para sahabat berhijrah ke Madinah dalam kelompok-kelompok kecil, agar tidak menarik perhatian Quraisy. Banyak di antara mereka harus meninggalkan seluruh harta dan keluarga, berangkat diam-diam pada malam hari, atau bahkan menyamar agar tidak tertangkap.
Saat akhirnya Rasulullah dan Abu Bakar keluar dari Gua Tsur, mereka menempuh perjalanan menuju Madinah melalui rute yang tidak biasa. Perjalanan penuh risiko itu melewati jalur-jalur terjal dan sepi di pinggiran barat Jazirah Arab, menghindari patroli Quraisy dan para pemburu bayaran yang menawarkan hadiah besar bagi siapa pun yang dapat membawa Muhammad kembali, hidup atau mati.
Salah satu kisah terkenal dalam perjalanan hijrah ini adalah tentang Suraqah bin Malik, seorang pemburu tangguh Quraisy yang nyaris berhasil menangkap Nabi. Namun, setiap kali ia mendekat, kudanya terperosok ke dalam pasir, hingga akhirnya ia yakin ada perlindungan ilahi di balik perjalanan ini. Suraqah bahkan mendapatkan janji dari Nabi bahwa suatu hari ia akan memakai gelang emas Raja Persia—janji yang benar-benar terbukti puluhan tahun kemudian.
Di tempat lain, seorang budak perempuan bernama Ummu Ma’bad mengisahkan bagaimana Nabi singgah di tendanya, dan dengan mukjizat, seekor kambing kurus bisa mengeluarkan susu melimpah sebagai berkah perjalanan hijrah.
Setelah perjalanan sekitar dua minggu, Rasulullah tiba di Quba, pinggiran Madinah. Di sana, masjid pertama Islam dibangun sebagai simbol awal kehidupan baru. Empat hari kemudian, beliau melanjutkan perjalanan ke pusat Madinah, disambut gembira oleh kaum Anshar dan Muhajirin, yang mengumandangkan “Tala’al Badru ‘Alaina” dengan penuh sukacita.
Madinah: Kota Harapan, Kota Peradaban
Madinah adalah pilihan strategis, bukan sekadar pelarian. Ia menjadi rumah bagi Islam bukan hanya karena tawaran keamanan, tapi karena masyarakatnya benar-benar siap menerima perubahan. Di Madinah, Rasulullah bebas membangun komunitas Islam dari nol: menegakkan shalat berjamaah, membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pendidikan, serta mempersaudarakan kaum Muhajirin (pendatang dari Makkah) dengan Anshar (penduduk Madinah) dalam sistem ukhuwah Islamiyah yang menakjubkan.
Di Madinah pula lahir Piagam Madinah, konstitusi tertulis pertama di dunia Islam yang mengatur hak dan kewajiban semua penduduk—Muslim maupun non-Muslim—dalam satu kesatuan masyarakat. Dengan pijakan inilah, Islam berkembang pesat, menanamkan prinsip keadilan, persamaan, dan persaudaraan universal.
Keberhasilan Madinah sebagai pusat dakwah bukan hanya karena faktor keamanan, tapi juga kesiapan mental dan spiritual penduduknya. Mereka haus akan perdamaian setelah puluhan tahun berperang, sehingga menerima ajaran Islam sebagai jalan keluar terbaik.
Rencana Pembunuhan Quraisy: Upaya Putus Asa yang Gagal
Fakta bahwa Quraisy sampai membuat rencana pembunuhan terorganisir terhadap Rasulullah menunjukkan betapa mereka menganggap hijrah sebagai ancaman serius terhadap status quo. Quraisy sadar, jika Nabi Muhammad berhasil membangun kekuatan di luar Makkah, posisi mereka sebagai pusat agama, ekonomi, dan politik akan terancam. Inilah mengapa mereka sepakat untuk menghabisi Nabi dengan cara yang tidak bisa dibalas oleh satu kabilah tertentu.
Namun, semua rencana jahat itu akhirnya gagal total. Rasulullah selamat berkat strategi, kecerdasan, keberanian, serta pertolongan langsung dari Allah SWT. Kisah hijrah ini menjadi saksi keajaiban ilahi dan pembuktian bahwa perjuangan di jalan kebenaran, betapapun beratnya, akan selalu mendapat pertolongan Allah.
Jejak Abadi Hijrah Nabi Muhammad
Perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah adalah titik balik sejarah Islam dan kemanusiaan. Ia bukan sekadar perjalanan fisik dari satu kota ke kota lain, melainkan tonggak lahirnya masyarakat baru yang bebas dari penindasan, siap menyongsong cahaya keadilan, dan membuka lembaran baru bagi peradaban manusia.
Pilihan pada Madinah, kegagalan di Thaif, tekanan di Makkah, serta ancaman pembunuhan yang begitu dahsyat, semuanya adalah rangkaian peristiwa yang dipandu oleh kehendak Allah, dijalani dengan strategi cerdas dan keteguhan hati seorang Rasul.
Hijrah adalah pesan universal: bahwa kemenangan bukan milik jumlah dan kekuatan, tetapi milik mereka yang sabar, berjuang, dan bertawakal kepada Allah. Kisah hijrah akan terus menjadi inspirasi bagi siapapun yang ingin membangun perubahan, menegakkan kebenaran, dan memperjuangkan keadilan, di manapun dan kapanpun.
Tak hanya itu, Rasulullah SAW pun mengabarkan keutamaan khusus bagi mereka yang bersabar atas segala kesulitan hidup di Madinah. Dalam sebuah hadis sahih beliau bersabda:
“Tidak ada seorang pun yang bersabar atas kesulitan dan beratnya hidup di Madinah, kecuali aku akan menjadi syafaat atau saksi baginya pada hari kiamat.”
(HR. Muslim no. 1377)
Betapa besar kemuliaan kota Madinah, dan betapa agung balasan bagi siapa saja yang meneladani kesabaran dan keteguhan Rasulullah di sana. Semoga kisah hijrah ini semakin meneguhkan hati setiap pembaca untuk tetap berjuang di jalan Allah, meski menghadapi kesulitan, karena balasan dan syafaat Rasulullah menanti di akhirat kelak.