Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...

Khutbah Wada’ Nabi Muhammad: Sejarah Hak Asasi Manusia Pertama

Temukan bagaimana Khutbah Wada’ Nabi Muhammad menjadi tonggak sejarah hak asasi manusia pertama, jauh sebelum deklarasi modern. Simak isi, pesan, dan inspirasinya!

BLOGSEJARAHSIRAH NABAWIYAHJEJAK RASUL

Ibnu Khidhir

6/14/20254 min baca

Pernahkah Anda bertanya, sejak kapan manusia pertama kali bicara soal hak asasi, persamaan, dan keadilan universal? Sebagian besar buku sejarah modern menyebut Magna Carta di Inggris (1215 M), Declaration of Independence Amerika (1776), dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (1948) sebagai tonggak peradaban. Tapi jauh sebelum semua itu, di tengah padang pasir Arafah pada musim haji terakhirnya, Nabi Muhammad SAW menyampaikan Khutbah Wada’—sebuah manifesto hak asasi manusia yang pertama dalam sejarah dunia.

Apakah benar khutbah ini layak disebut demikian? Mari kita telusuri konteks sejarah, isi, pesan, dan pengaruh abadi khutbah perpisahan Rasulullah, dari zaman klasik hingga era modern.

1. Khutbah Wada’: Haji Terakhir Nabi dan Momen Universal

Musim haji tahun 10 Hijriah (632 Masehi) menjadi peristiwa monumental. Lebih dari 100.000 umat Islam dari berbagai penjuru Jazirah Arab berkumpul di Padang Arafah. Mereka tahu, Nabi Muhammad SAW akan menyampaikan pesan terakhir. Inilah Haji Wada’ (Haji Perpisahan)—satu-satunya haji yang dilakukan Rasulullah setelah Islam berjaya di Makkah dan Madinah.

Khutbah Wada’ disampaikan di Jabal Rahmah, Arafah. Isi pidato ini sarat pesan kemanusiaan, hukum, dan moral. Tidak hanya mengatur tata cara haji, tapi juga hak, martabat, dan tanggung jawab setiap manusia. Nabi berdiri sebagai pemimpin agama, sosial, dan politik, menyatukan semua lapisan masyarakat tanpa memandang suku, status, atau warna kulit.

Momen ini begitu agung, hingga Allah menurunkan ayat penutup syariat:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam sebagai agamamu.”
(QS. Al-Ma’idah: 3)

2. Isi Pokok Khutbah Wada’: Hak, Keadilan, dan Persamaan

Mari kita soroti beberapa inti pesan khutbah Wada’ yang menunjukkan visi hak asasi manusia:

a. Kesucian Jiwa, Harta, dan Kehormatan

“Wahai manusia, sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci, sebagaimana sucinya hari ini, di bulan ini, di negeri ini.”

Pesan ini menegaskan perlindungan mutlak atas jiwa, harta, dan martabat manusia. Tidak boleh ada penindasan, kezaliman, apalagi pembunuhan atas dasar apa pun. Nabi mengumumkan berakhirnya budaya balas dendam berdarah (qishash) masa jahiliyah. Semua darah dan hutang dendam dihapus, termasuk dendam keluarga beliau sendiri.

b. Persamaan Derajat dan Anti-Diskriminasi

“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, dan bapak kalian satu. Tidak ada keutamaan orang Arab atas orang Ajam (non-Arab), tidak juga Ajam atas Arab, tidak pula yang berkulit merah atas yang hitam, atau yang hitam atas yang merah, kecuali karena takwa.”

Jauh sebelum dunia mengenal anti-rasisme, Nabi menekankan bahwa kemuliaan manusia hanya diukur dari ketakwaan, bukan suku, ras, bangsa, ataupun status sosial.

c. Hak Perempuan dan Keadilan Keluarga

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita. Kalian mengambil mereka sebagai amanah Allah. Hak mereka atas kalian ialah diperlakukan baik, diberi nafkah, dan tidak disakiti.”

Nabi menekankan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Ia menyerukan penghormatan, keadilan, dan perlakuan baik pada istri dan anak perempuan—suatu hal yang sangat revolusioner di dunia Arab kala itu.

d. Penghapusan Riba dan Penindasan Ekonomi

“Segala riba pada masa jahiliyah telah dihapuskan. Dan riba pertama yang aku hapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi).”

Riba adalah bentuk penindasan ekonomi. Nabi menghapus semua praktik bunga berlipat yang merugikan masyarakat miskin dan memperkaya segelintir orang. Pesan ini sejalan dengan spirit keadilan ekonomi dunia modern.

e. Amanah dan Tanggung Jawab Menyampaikan Pesan

“Hendaklah yang hadir di sini menyampaikan kepada yang tidak hadir. Bisa jadi yang mendengar dari yang disampaikan lebih memahami dari yang hadir di sini.”

Prinsip “let those present inform those who are absent” menunjukkan inklusivitas dakwah dan distribusi ilmu secara adil.

3. Konteks Sejarah: Lebih Awal dari Magna Carta dan Deklarasi Modern

Bila dibandingkan dokumen-dokumen sejarah seperti Magna Carta (1215), Bill of Rights Inggris (1689), Declaration of Independence (1776), atau Universal Declaration of Human Rights PBB (1948), Khutbah Wada’ Nabi Muhammad sudah mendeklarasikan hak asasi manusia jauh sebelumnya. Bahkan, pesan-pesan khutbah ini sangat relevan dan progresif:

  • Kesetaraan di hadapan hukum

  • Larangan penindasan ekonomi dan sosial

  • Pengakuan hak dan martabat perempuan

  • Tanggung jawab sosial dan persaudaraan lintas bangsa

Para sejarawan dan peneliti Barat pun mengakui, pesan universal dalam khutbah Nabi Muhammad memberi inspirasi bagi nilai-nilai keadilan, etika sosial, dan perlindungan hak yang kini menjadi fondasi masyarakat modern.

4. Relevansi dan Inspirasi untuk Dunia Modern

Mengapa Khutbah Wada’ tetap relevan hingga sekarang?

  • Etika Universal: Nilai-nilai dalam khutbah ini menjadi landasan hukum, tata sosial, dan hubungan kemanusiaan di banyak negara Muslim—bahkan menjadi acuan etika lintas agama.

  • Antirasisme dan Toleransi: Pesan persamaan di hadapan Tuhan dan larangan diskriminasi sangat penting di era globalisasi dan masyarakat multikultural hari ini.

  • Hak Perempuan dan Perlindungan Keluarga: Dalam isu kesetaraan gender modern, khutbah ini memotivasi perlakuan adil, penghormatan, dan anti kekerasan dalam keluarga.

  • Keadilan Ekonomi: Larangan riba dan penindasan menginspirasi sistem ekonomi syariah dan kritik terhadap kapitalisme ekstrem.

  • Transparansi dan Pendidikan: Perintah menyampaikan ilmu menunjukkan pentingnya distribusi informasi dan keadilan akses pendidikan bagi semua.

Tak sedikit lembaga hak asasi dunia dan penggiat HAM yang mulai mengkaji kembali sumber-sumber klasik Islam—terutama khutbah Nabi Muhammad—untuk menemukan solusi atas problem kemanusiaan kontemporer.

5. Jejak Khutbah Wada’ dalam Sejarah Haji dan Dunia Islam

Tidak hanya sebagai pidato perpisahan, Khutbah Wada’ adalah warisan abadi dalam sejarah haji. Setiap musim haji, jutaan Muslim dari seluruh dunia datang ke Arafah, menapaktilasi momen bersejarah itu, dan mengenang pesan Nabi Muhammad tentang keadilan dan persatuan.

Khutbah Wada’ menjadi bacaan wajib bagi jamaah, materi manasik, dan inspirasi khutbah Idul Adha di seluruh dunia. Nilai-nilainya menjadi pilar dalam hukum keluarga, muamalah, dan kebijakan sosial di berbagai negara Muslim—mulai dari Mesir, Indonesia, hingga negara-negara Afrika. Bahkan, di tengah dunia yang terus berubah, khutbah ini adalah kompas moral yang tak pernah kadaluarsa.

6. Mampukah Kita Menghidupkan Manifesto Hak Asasi Manusia Nabi?

Jika kita bertanya, adakah sumber hak asasi manusia pertama dalam sejarah dunia? Maka Khutbah Wada’ Nabi Muhammad SAW adalah jawabannya: jelas, tegas, universal, dan mendahului deklarasi modern.
Lebih dari sekadar warisan sejarah Islam, khutbah ini adalah pesan kemanusiaan untuk semua: tentang martabat, keadilan, dan persaudaraan manusia.

Tantangannya kini, mampukah kita, generasi hari ini, mewujudkan pesan luhur Khutbah Wada’ dalam realitas hidup, keluarga, dan masyarakat? Mari jadikan khutbah agung ini inspirasi abadi—dalam perjuangan menegakkan hak asasi, perdamaian, dan keadilan sosial, sebagaimana pernah ditanamkan Nabi Muhammad SAW di padang Arafah.