Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...
Kisah Tertua Catatan Haji: Dari Naskah, Relief, Hingga Lisan
Jelajahi sejarah catatan haji tertua: naskah klasik, relief kuno, dan kisah lisan penuh makna dari masa ke masa hingga era modern.
SEJARAHARTIKELBLOG
Ibnu Khidhir
6/14/20255 min baca


Pernahkah Anda membayangkan, sejak kapan manusia pertama kali mencatat perjalanan haji? Bagaimana jejak spiritual ke Ka’bah dan ritual haji bertahan ribuan tahun, bahkan sebelum era tulisan modern? Menyusuri jejak tertua catatan haji adalah perjalanan menelusuri sejarah spiritual umat manusia—melalui naskah kuno, relief batu, dan kisah lisan yang diwariskan lintas generasi. Inilah kisah abadi yang menegaskan kedudukan haji sebagai ritual sakral dan universal.
Bayangkan sejenak, ribuan tahun sebelum mesin cetak ditemukan, sebelum dunia mengenal internet atau telepon genggam, para peziarah telah berbondong-bondong menuju padang pasir Makkah demi memenuhi panggilan suci. Mereka menapaki gurun, menyeberangi laut, dan melewati batas-batas suku serta peradaban, hanya dengan satu tujuan—menghadap ke rumah pertama yang didirikan untuk Allah, Ka’bah. Jejak langkah mereka kadang hanya terukir pada batu, tercatat dalam doa-doa, atau dituturkan lewat cerita malam di bawah cahaya rembulan padang pasir.
Catatan dan cerita ini bukan sekadar dokumen sejarah, melainkan juga cermin harapan, ketabahan, dan pencarian makna hidup umat manusia. Dari prasasti batu, ukiran pada koin kuno, syair, hingga blog digital masa kini, semuanya menjadi mozaik besar yang memperlihatkan betapa ritual haji telah menyatukan manusia lintas ras, bangsa, dan zaman. Setiap generasi peziarah meninggalkan jejak, menguatkan tali tradisi, dan memastikan bahwa panggilan menuju Ka’bah tak pernah terputus—sebuah warisan spiritual yang tak ternilai harganya.
1. Naskah Kuno: Jejak Tulisan dan Dokumentasi Sejarah Haji
Apakah catatan tertulis tentang haji hanya muncul setelah Islam berkembang? Ternyata, jauh sebelum mesin cetak dan teknologi modern, dunia Islam sudah mengenal dokumentasi perjalanan haji dalam bentuk manuskrip dan kitab kuno. Salah satu naskah tertua adalah karya Al-Azraqi, “Akhbar Makkah”, yang ditulis pada abad ke-9 M.
Al-Azraqi menulis dengan detail tentang sejarah Ka’bah, renovasi bangunan, perubahan tradisi thawaf, bahkan peristiwa penting seperti banjir besar yang pernah melanda Makkah. Ia juga mencatat peran para penguasa dan ulama dalam menjaga ritual haji tetap sesuai syariat.
Kemudian, pada abad ke-12 dan ke-14, muncul tokoh seperti Ibnu Jubair dan Ibnu Batutah—keduanya dikenal sebagai pelancong dunia Islam yang menulis jurnal perjalanan haji secara rinci. Ibnu Jubair, misalnya, menceritakan bagaimana ia melewati rute laut dari Spanyol ke Mesir, lalu menyusuri padang pasir menuju Hijaz. Ia menggambarkan suasana Masjidil Haram, perilaku jamaah dari berbagai negeri, dan bahkan sistem pengamanan kota suci saat musim haji.
Naskah dari Nusantara juga penting: “Hikayat Meukuta Alam” dan manuskrip Aceh kuno mencatat perjalanan para sultan, ulama, dan pelajar Indonesia ke Makkah sejak abad ke-16. Bahkan, beberapa naskah Melayu menyimpan petunjuk manasik, doa, dan pantangan yang harus diikuti selama perjalanan. Naskah-naskah ini menjadi saksi hubungan erat Nusantara dengan pusat dunia Islam sejak ratusan tahun lalu.
Tak hanya dunia Islam, sumber dari Cina melaporkan keberangkatan jamaah dari pelabuhan Asia Tenggara menuju Makkah, menunjukkan betapa luas jejaring ibadah haji sejak era Dinasti Tang dan Song. Catatan seperti “Ying-yai Sheng-lan” mencatat pertemuan dengan peziarah Muslim dari Jawa dan Sumatra di Lautan Hindia, semuanya menuju satu tujuan: Baitullah.
2. Relief Batu dan Bukti Arkeologis: Pesan Haji dari Zaman Purba
Pernahkah Anda membayangkan bahwa keinginan manusia untuk mencatat perjalanan suci sudah ada sejak belum dikenalnya tulisan abjad?
Relief batu dan prasasti kuno di Jazirah Arab adalah buktinya.
Relief Nabataean dan Arab Selatan di Petra, Madain Saleh, serta sekitar Hijaz, memperlihatkan gambar manusia berjalan berombongan, membawa kurban, atau mengelilingi sebuah bangunan suci. Banyak arkeolog percaya relief ini melambangkan perjalanan ziarah pra-Islam ke tempat-tempat yang diyakini sebagai “rumah suci” (Baitullah), yang kelak dikenal sebagai Ka’bah.
Prasasti Safaitic dan Lihyanitic (abad ke-2 SM–ke-4 M) ditemukan di wilayah utara Arab Saudi dan Yordania. Prasasti ini berisi permohonan keselamatan untuk “perjalanan ke rumah suci”, disertai nama-nama penziarah, doa, bahkan nama keluarga yang dikirimkan sebagai bagian dari perjalanan haji masa purba.
Pada masa awal Islam dan Dinasti Umayyah, seni ukir berkembang di koin, piring tembikar, hingga dinding bangunan. Beberapa artefak menampilkan gambar Ka’bah (sering digambarkan kotak dengan pintu dan tirai khas), serta manusia yang berkeliling melakukan thawaf. Relief dan artefak ini adalah bukti visual bahwa ritual menuju Ka’bah telah hidup dalam budaya Arab jauh sebelum zaman Nabi Muhammad SAW, dan menegaskan kontinuitas spiritual di kawasan itu.
3. Kisah Lisan: Tradisi Bercerita yang Melekat dalam Masyarakat
Bayangkan suasana malam di padang pasir, ketika api unggun menyala dan para penziarah berkumpul menceritakan perjalanan mereka ke tanah suci. Kisah lisan adalah salah satu cara paling tua dalam merekam pengalaman haji—bahkan di masyarakat di mana budaya tulis belum mengakar kuat. Di keluarga Arab, kisah perjalanan haji sering diceritakan turun-temurun: mulai dari cerita perjalanan unta menyeberangi padang pasir, kisah keajaiban selamat dari badai, hingga pengalaman haru ketika pertama kali melihat Ka’bah.
Di Nusantara, tradisi syair haji berkembang di Aceh, Melayu, dan Jawa. Contohnya, “Syair Siti Zubaidah” dan “Syair Haji” yang mengisahkan perjalanan spiritual, rintangan bajak laut, wabah penyakit di kapal, hingga suka cita melihat Ka’bah. Setiap keluarga yang pulang dari haji biasanya menjadi sumber utama cerita di kampung, dan kisah mereka ditiru atau dijadikan rujukan bagi calon jamaah berikutnya. Bahkan, “gelar haji” menjadi simbol kehormatan dan kepercayaan masyarakat.
Di Afrika Barat, kisah haji legendaris Mansa Musa—raja Mali yang membawa ribuan pengikut dan emas ke Makkah—masih diceritakan sebagai bagian penting sejarah lokal, membangun rasa bangga dan identitas Islam. Kisah lisan ini tidak hanya menyimpan fakta sejarah, tetapi juga nilai spiritual, adat, dan inspirasi bagi generasi baru.
Tanpa kisah-kisah ini, banyak pengalaman penting perjalanan haji akan hilang ditelan waktu.
4. Haji dalam Catatan Kolonial dan Penjelajah Dunia
Masuk abad ke-19 dan ke-20, era kolonial dan penjelajah asing mulai menulis catatan haji dari sudut pandang “orang luar”. Mereka mendokumentasikan segala aspek perjalanan, mulai dari proses pengurusan paspor, perizinan kapal, karantina kesehatan, hingga peraturan haji di bawah kekuasaan Ottoman atau Inggris.
Richard Francis Burton, penjelajah asal Inggris, menulis buku “Personal Narrative of a Pilgrimage to Al-Madinah and Meccah” setelah menyamar sebagai Muslim dan berhasil menunaikan haji pada tahun 1853. Ia menggambarkan detail kondisi sosial, budaya, serta tantangan logistik yang dihadapi jamaah dari berbagai negara.
Arsip kolonial Belanda, Inggris, dan Prancis kini menjadi tambang data sejarah:
Tiket kapal haji, manifest penumpang, bahkan laporan petugas karantina di pelabuhan Jeddah dan Singapura masih tersimpan rapi di museum dan perpustakaan Eropa.
Dokumen ini merekam betapa beratnya perjalanan haji jamaah Nusantara: mereka harus berbulan-bulan di laut, menjalani pemeriksaan kesehatan ketat, hingga terkadang mengalami musibah di tengah pelayaran.
Selain itu, dokumen surat kabar dan majalah dari abad ke-19 dan 20 juga banyak memuat kisah haji: mulai dari laporan perjalanan, penipuan agen palsu, hingga kisah inspiratif suksesnya jamaah “haji kampung” menembus batas dunia. Catatan penjelajah dan arsip kolonial melengkapi naskah klasik dan tradisi lisan—menyajikan gambaran utuh perjalanan haji di tengah perubahan global.
5. Catatan Haji Modern: Foto, Video, dan Digitalisasi Pengalaman
Di era digital, catatan haji berkembang pesat. Kini, hampir setiap jamaah membawa ponsel, kamera, dan bahkan drone untuk merekam setiap detik perjalanan.
Ribuan foto dan video perjalanan, momen tawaf, ziarah, hingga suasana di hotel dan tenda Mina bertebaran di media sosial: Instagram, Facebook, YouTube, dan TikTok.
Banyak jamaah menulis blog perjalanan atau membagikan tips via WhatsApp, Telegram, dan komunitas daring. Pengalaman spiritual, rute favorit, serta solusi masalah logistik kini mudah diakses oleh calon jamaah dari seluruh dunia.
Tak kalah penting, pemerintah Arab Saudi kini mengarsipkan data perjalanan haji dalam bentuk arsip digital: foto-foto lama, statistik, hingga video dokumenter tersedia di website resmi dan museum daring. Era digitalisasi ini membuka peluang baru: siapa saja bisa menjadi “penulis sejarah haji” bagi generasi berikutnya. Kisah dan pengalaman yang dulunya hanya tersimpan di ingatan pribadi, kini bisa menjadi warisan global yang tak lekang waktu.
Jejak catatan haji tertua bukan sekadar fakta sejarah—tapi benang merah yang menghubungkan setiap generasi Muslim dengan rumah suci Allah. Dari naskah kuno dan relief batu, hingga kisah lisan dan dokumentasi digital, perjalanan haji adalah mozaik agung peradaban dan iman.
Sudahkah Anda menyiapkan kisah sendiri untuk ditinggalkan bagi generasi mendatang?