Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...
Mengapa Haji Hanya di Makkah?
Temukan alasan mengapa haji hanya sah di Makkah: keistimewaan Ka’bah, kisah hari Arafah, sejarah Amr bin Luhay, dan makna persatuan umat Islam.
BLOGOPINISEJARAH
Ibnu Khidhir
6/27/20254 min baca


Pernahkah kita bertanya secara jujur, mengapa jutaan Muslim dunia setiap tahun rela bersusah payah menempuh ribuan kilometer hanya untuk menuju satu titik di muka bumi—Makkah? Tak jarang, mereka menabung seumur hidup, meninggalkan keluarga dan kenyamanan, bahkan menghadapi risiko kesehatan dan keselamatan demi satu tujuan: menunaikan ibadah haji. Padahal, di dunia ini terdapat banyak kota suci lain yang juga sarat sejarah dan spiritualitas—sebut saja Madinah, tempat Rasulullah SAW dimakamkan, atau Yerusalem, kiblat pertama umat Islam dan saksi peristiwa Isra’ Mi’raj. Mengapa haji tidak bisa digantikan di tempat-tempat mulia itu?
Bagi sebagian orang awam, mungkin jawabannya cukup sederhana: “Karena itulah tradisi yang diwariskan turun-temurun.” Namun, di balik jawaban singkat itu, tersimpan realitas spiritual dan perintah wahyu yang jauh lebih dalam. Haji di Makkah bukan sekadar rutinitas, melainkan panggilan jiwa, bentuk kepatuhan total, dan penegasan tauhid yang terwujud nyata—sebuah ritual yang menembus batas ruang, waktu, dan budaya, menyatukan manusia dari segala penjuru dunia di bawah satu syariat dan kiblat.
1. Hari Arafah: Jawaban Allah atas Keraguan Malaikat dan Puncak Persatuan Umat
Setiap tanggal 9 Dzulhijjah, hamparan padang pasir Arafah menjadi saksi salah satu pemandangan paling menggetarkan di dunia. Jutaan manusia dari Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Australia—laki-laki, perempuan, tua, muda, pejabat, rakyat jelata—berkumpul tanpa mengenal sekat status, kekayaan, bahkan warna kulit. Semuanya menanggalkan atribut duniawi dan hanya berselimut kain putih ihram, menghadap satu kiblat: Ka’bah di Makkah.
Pada hari itu, Allah membanggakan para tamu-Nya di hadapan para malaikat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Tidak ada hari di mana Allah membebaskan lebih banyak hamba dari api neraka daripada hari Arafah. Allah mendekat dan membanggakan mereka di hadapan malaikat, lalu berkata: ‘Apa yang diinginkan hamba-hamba-Ku itu?’” (HR. Muslim)
Menurut Imam Nawawi, pada hari itu Allah menampakkan kebesaran dan kasih sayang-Nya. Allah memperlihatkan kepada para malaikat manusia dari penjuru dunia yang bersatu meninggalkan segala perbedaan dan kemewahan dunia hanya demi satu perintah: berhaji di Makkah, di hadapan Ka’bah. Inilah realisasi nyata persatuan dan tauhid—seluruh identitas duniawi luluh dalam ibadah. Tidak ada lagi sekat sosial, warna kulit, ataupun kebanggaan ras. Yang membedakan hanya keikhlasan niat dan ketaqwaan.
Fenomena Arafah adalah jawaban nyata Allah atas keraguan malaikat ketika manusia diciptakan. Kala itu, para malaikat bertanya,
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah?” (QS. Al-Baqarah: 30).
Hari-hari seperti Arafah membuktikan, meski manusia punya potensi salah, mereka mampu bersatu, rendah hati, dan tunduk total bila mengikuti petunjuk Allah. Haji di Makkah adalah jawaban konkret bahwa manusia mampu membuktikan keagungan ciptaan Allah: mereka bisa menanggalkan ego, memaafkan, menolong, dan bersaudara di bawah kiblat yang satu.
2. Ka’bah: Titik Nol Ibadah, Tauhid, dan Peradaban
Lalu, mengapa haji hanya di Makkah? Karena Ka’bah adalah rumah ibadah pertama yang dibangun atas perintah Allah oleh Nabi Ibrahim dan Ismail (QS. Ali Imran: 96; QS. Al-Baqarah: 125-127). Dari titik nol inilah, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyeru manusia menunaikan haji (QS. Al-Hajj: 27). Seruan ini menggema menembus zaman, bangsa, dan peradaban—memanggil setiap jiwa untuk menapaki jejak tauhid di Makkah.
Ka’bah bukan sekadar bangunan batu di tengah gurun. Ia adalah pusat tauhid, poros spiritual umat manusia, dan titik awal peradaban yang menyatukan manusia lintas sejarah, geografi, dan budaya.
Seluruh syarat dan rukun haji—thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit, dan jumrah—hanya sah dilakukan di kawasan Makkah dan sekitarnya. Tidak ada kota lain di muka bumi yang Allah pilih dan tetapkan sebagai pusat seluruh rangkaian manasik haji, kecuali Makkah. Lebih dari itu, Ka’bah telah lama menjadi simpul sosial, ekonomi, dan budaya. Sebelum Islam datang, Ka’bah adalah tempat pertemuan suku, musyawarah, perdagangan, dan bahkan lomba syair. Setelah Islam, ia menjadi arah shalat (kiblat), titik awal kalender Islam, dan sumber inspirasi peradaban.
3. Amr bin Luhay: Ketika Ka’bah Disesatkan Berhala
Tentu, perjalanan Ka’bah sebagai pusat tauhid tidak selalu mulus. Sejarah mencatat bahwa Amr bin Luhay al-Khuza’i adalah sosok yang pertama kali memasukkan berhala ke dalam Ka’bah, setelah terpengaruh budaya luar. Ia membawa patung Hubal dari Syam, dan lambat laun, ratusan berhala memenuhi sekeliling Ka’bah.
Praktik penyembahan tauhid yang diwariskan Nabi Ibrahim pun tercemar kemusyrikan. Walau Ka’bah tetap dijadikan pusat ritual, makna ibadahnya menyimpang. Orang Arab bahkan thawaf telanjang, menyembelih untuk berhala, dan mengubah tata cara haji sesuai hawa nafsu dan adat jahiliyah. Ritual haji memang tetap berlangsung, namun telah kehilangan ruh tauhid. Ka’bah tetap menjadi magnet spiritual dan sosial bangsa Arab, tetapi maknanya berubah hingga datangnya era Islam.
4. Nabi Muhammad: Pemurnian Tauhid, Haji, dan Kembali ke Wahyu
Kedatangan Nabi Muhammad SAW menandai revolusi spiritual terbesar sepanjang sejarah. Misi beliau adalah memurnikan kembali Ka’bah dan manasik haji. Setelah peristiwa Fathu Makkah, Rasulullah SAW membersihkan Ka’bah dari ratusan berhala, mengembalikan ibadah hanya kepada Allah, dan menegaskan tata cara haji yang sahih melalui sabda beliau:
“Ambillah dariku manasik kalian.” (HR. Muslim)
Artinya, seluruh syarat, tata cara, dan lokasi haji wajib mengikuti wahyu: hanya di Makkah, hanya di sekitar Ka’bah, Arafah, Mina, dan Muzdalifah.
Tidak pernah ada riwayat, dalil, atau konsensus ulama yang membolehkan pelaksanaan haji di luar Makkah.
Rasulullah menegaskan: manasik haji bukan tradisi atau warisan budaya, tapi kewajiban tauhid dan kepatuhan pada wahyu.
Setiap tahapan haji di Makkah adalah napak tilas perjuangan para nabi—dari pengorbanan Hajar dan Ismail, ketundukan Ibrahim, hingga perjuangan Rasulullah menegakkan tauhid di tengah kemusyrikan. Semua berpuncak di satu tempat: Ka’bah, jantung peradaban Islam.
5. Kenapa Bukan Madinah atau Yerusalem?
Mengapa bukan Madinah atau Yerusalem yang dijadikan pusat haji? Madinah memang mulia—di sanalah Nabi berhijrah dan dimakamkan. Yerusalem adalah kiblat pertama serta tempat Isra’ Mi’raj. Namun, wahyu Allah jelas: haji hanya sah di Makkah. Tidak ada satu pun dalil sahih yang membolehkan haji di luar Ka’bah dan lokasi yang telah Allah tetapkan. Ini ditegaskan pula oleh ijma’ (konsensus) para ulama dari zaman sahabat hingga hari ini.
Haji di Makkah adalah simbol kepatuhan mutlak pada wahyu, bukan sekadar mudah, tidak pula kompromi budaya. Di era globalisasi, hanya di Makkah seluruh Muslim dari berbagai penjuru dunia melebur dalam kesetaraan. Kain ihram putih menjadi seragam universal, menegaskan bahwa manusia hanyalah hamba ketika berdiri di hadapan Allah.
Haji di Makkah adalah bukti sejarah hidup, warisan spiritual, dan pilar peradaban yang terus menghidupkan tauhid, persatuan, serta semangat pengorbanan umat Islam. Haji hanya sah di Makkah, karena Allah sendiri yang memilih, menurunkan perintah, dan menjadikan Ka’bah sebagai titik mula peradaban, simbol tauhid, dan pusat spiritual umat manusia.
Setiap musim haji adalah momen pengingat: manusia, walau beragam ras dan bangsa, mampu patuh dan bersatu jika mengikuti syariat wahyu. Semoga setiap langkah menuju Baitullah selalu meneguhkan tauhid, persaudaraan, dan warisan peradaban Islam yang berakar dari Ka’bah.