Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...

Pandemi dalam Sejarah Haji: Dari Tha’un, Black Death, Kolera, hingga COVID-19

Telusuri sejarah pandemi besar yang mengubah tradisi haji: Tha’un, Black Death, Kolera, COVID-19. Bagaimana wabah membentuk perjalanan haji di Makkah?

SEJARAHBLOGARTIKELKISAH SAHABAT

Ibnu Khidhir

6/18/20254 min baca

Setiap musim haji, jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia memenuhi Makkah. Namun, tak banyak yang tahu bahwa kota suci ini pernah berkali-kali nyaris lengang akibat wabah mematikan. Pandemi telah menorehkan babak-babak dramatis dalam sejarah haji, menguji daya tahan, merombak tradisi, dan memaksa lahirnya inovasi baru dalam tata kelola jamaah. Dari zaman klasik hingga era digital, jejak Tha’un, Black Death, Kolera, dan COVID-19 tetap membekas dalam perjalanan spiritual umat Islam.

Tha’un: Wabah Pertama yang Mengguncang Haji

Pandemi Tha’un, atau plague, dikenal sebagai wabah pertama yang secara nyata mengguncang perjalanan haji. Tha’un Amwas pada abad ke-7 M melanda wilayah Syam, Irak, dan Jazirah Arab saat pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Wabah ini menewaskan puluhan ribu orang, termasuk sahabat-sahabat terkemuka seperti Abu Ubaidah bin Jarrah. Walaupun pusat wabah bukan di Makkah, efeknya menjalar hingga ke Hijaz.

Banyak jamaah dari Syam dan Irak menunda atau bahkan membatalkan perjalanan haji. Catatan sejarah menyebutkan penurunan drastis jumlah jamaah pada musim-musim tertentu akibat kekhawatiran akan penyebaran penyakit. Ulama dan pemerintah mulai memberlakukan pembatasan gerak dan menganjurkan jamaah yang berasal dari wilayah wabah untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Makkah. Protokol sederhana seperti menghindari keramaian dan meningkatkan kebersihan mulai dikenalkan.

Tha’un menjadi pelajaran penting di dunia Islam tentang pentingnya menjaga kesehatan dalam pelaksanaan ibadah kolektif. Pemerintah dan ulama mulai menyadari bahwa keselamatan jiwa harus menjadi prioritas, dan konsep semacam karantina mulai dikenalkan, meskipun belum seketat dan seilmiah era modern.

Black Death: Wabah Hitam Yang Merubah Sejarah

Nama "Black Death" atau Wabah Hitam baru mulai dikenal luas pada abad ke-17, berasal dari terjemahan istilah Latin atra mors, yang bermakna ganda: "kematian hitam" sekaligus "kematian yang mengerikan" — sebab kata atra dapat merujuk pada kegelapan atau sesuatu yang menakutkan.

Salah satu masa paling kelam dalam sejarah perjalanan haji terjadi ketika wabah pes ini menyapu dunia pada abad ke-14 M. Dikenal sebagai Black Death, wabah ini berasal dari Asia Tengah dan menyebar cepat melalui Jalur Sutra dan pelabuhan-pelabuhan dagang ke Eropa, Afrika Utara, Mesir, Syam, hingga mencapai wilayah Hijaz. Catatan para sejarawan Muslim seperti Ibnu Hajar al-Asqalani dan al-Maqrizi menyebutkan bahwa antara tahun 1348 hingga 1351, Kota Makkah mengalami musim-musim haji yang luar biasa sepi—barangkali salah satu yang paling sunyi dalam sejarahnya, akibat kematian massal dan kekhawatiran akan penyebaran penyakit mematikan ini.

Ribuan calon haji wafat di perjalanan, sebagian besar di pelabuhan, gurun, atau bahkan di dalam kota Makkah. Pemerintah Mamluk Mesir yang saat itu berkuasa atas Hijaz terpaksa membatasi jumlah jamaah haji secara ketat. Ada tahun-tahun di mana hanya segelintir orang yang dapat melaksanakan thawaf dan wukuf di Arafah, sementara Masjidil Haram yang biasanya penuh sesak berubah menjadi hampir kosong.

Langkah-langkah karantina dilakukan di pintu masuk Hijaz, terutama di Jeddah dan di perbatasan padang pasir. Penguasa Mamluk bahkan sempat menutup total akses haji dari wilayah yang terdampak parah wabah. Selain itu, sejumlah perubahan diberlakukan dalam tata cara ibadah dan mobilitas jamaah demi menghindari kerumunan. Black Death tidak hanya meninggalkan luka sosial, tapi juga mendorong perbaikan sistem kesehatan masyarakat dan pengelolaan jamaah dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kolera: Tantangan Global untuk Haji Abad 19 dan 20

Abad ke-19 dan awal abad ke-20 ditandai oleh maraknya pandemi kolera, penyakit menular yang memakan korban hingga jutaan jiwa di Asia, Afrika, dan Eropa. Jamaah haji dari Nusantara yang menempuh perjalanan laut menjadi kelompok yang paling rentan, terutama saat kapal-kapal singgah di pelabuhan-pelabuhan karantina seperti Sabang, Penang, Batavia, Surabaya, hingga Jeddah.

Pemerintah Ottoman dan Inggris, serta otoritas Hindia Belanda, mulai memberlakukan regulasi kesehatan ketat: pemeriksaan medis, sertifikat vaksinasi kolera, hingga wajib karantina bagi setiap jamaah yang datang dari wilayah terdampak. Dalam beberapa musim haji, ribuan calon haji Nusantara gagal berangkat atau bahkan meninggal dunia sebelum sampai ke Makkah akibat wabah atau akibat terlalu lama di karantina pelabuhan.

Catatan arsip kolonial menyebutkan pelaksanaan haji pada masa pandemi kolera mengalami penurunan signifikan. Kapal uap sering menjadi klaster penyebaran penyakit, dan kekhawatiran akan epidemi membuat pemerintah Muslim dan Barat memberlakukan pembatasan perjalanan lintas benua. Layanan kesehatan pelabuhan dan klinik haji mulai berkembang pesat, menjadi cikal bakal sistem kesehatan haji modern.

Influenza Spanyol dan Epidemi Modern

Gelombang pandemi Influenza Spanyol pada 1918-1920 kembali menambah deretan musim haji yang sunyi dan penuh duka. Banyak negara Muslim, termasuk Mesir dan Turki, serta otoritas Saudi, membatasi bahkan melarang keberangkatan haji dari wilayah-wilayah yang terdampak wabah flu ganas ini. Dalam arsip sejarah, tercatat penurunan tajam jumlah jamaah, bahkan ada musim haji yang berjalan tanpa kehadiran jamaah dari Asia atau Afrika.

Selain influenza, penyakit lain seperti meningitis, malaria, cacar, dan pes juga beberapa kali menimbulkan gelombang pembatasan baru di awal abad ke-20. Setiap terjadi epidemi, pemerintah Arab Saudi dan negara pengirim jamaah mengeluarkan syarat-syarat baru, termasuk suntik vaksin meningitis, pemeriksaan kesehatan ketat, dan sertifikat bebas penyakit.

Perkembangan layanan kesehatan dan laboratorium di Makkah dan Madinah menjadi prioritas. Klinik-klinik darurat dibangun di sekitar Masjidil Haram, dan kerja sama lintas negara pun mulai rutin dijalankan, menandai era baru kolaborasi kesehatan internasional dalam penyelenggaraan haji.

COVID-19

Pandemi COVID-19 pada 2020 menjadi titik balik paling mencolok dalam sejarah haji modern. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, haji benar-benar ditutup untuk jamaah internasional, hanya segelintir penduduk lokal yang diizinkan berhaji dengan protokol super-ketat. Ritual thawaf, sa’i, wukuf, dan seluruh rangkaian manasik dijalankan dengan pembatasan fisik ekstrem—jamaah wajib menjaga jarak, mengenakan masker, melakukan karantina sebelum dan sesudah ibadah, serta menunjukkan sertifikat vaksin.

Pemerintah Saudi memanfaatkan teknologi digital: aplikasi Nusuk, barcode untuk pelacakan jamaah, kamera CCTV, hingga edukasi daring untuk protokol kesehatan. Proses pendaftaran haji menjadi sepenuhnya daring, dan verifikasi kesehatan menjadi syarat mutlak. Seluruh dunia menyaksikan musim haji yang biasanya ramai berubah menjadi sunyi, meninggalkan rasa haru dan rindu bagi jutaan calon jamaah dari berbagai negara.

Dampak COVID-19 juga terasa hingga Indonesia dan negara Muslim lain. Ribuan calon haji tertunda keberangkatannya selama dua tahun berturut-turut, dan tradisi sosial seperti tasyakuran dan syukuran pun dialihkan menjadi acara virtual atau dalam lingkaran keluarga inti. Pandemi ini bukan hanya soal pembatasan, tetapi juga revolusi dalam tata kelola, sistem informasi, dan layanan medis bagi jamaah haji.

Jejak pandemi dalam sejarah haji adalah catatan panjang tentang bagaimana wabah mengubah wajah perjalanan spiritual ke Makkah. Setiap masa, mulai dari Tha’un di era sahabat, Black Death di abad pertengahan, kolera dan influenza di zaman kolonial, hingga COVID-19 di abad digital, menandai babak baru dalam adaptasi, inovasi, dan pengelolaan ibadah haji. Tradisi besar umat Islam ini telah berulang kali diuji oleh pandemi, namun selalu kembali dengan perubahan dan penguatan tata kelola untuk generasi berikutnya.

Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar—sejarah haji selalu terbuka bagi kisah baru dari setiap zaman.