Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...

Para Pencari Kebenaran Sebelum Kenabian: Jejak Empat Tokoh Hanif Quraisy

Sebelum wahyu turun kepada Rasulullah SAW, empat tokoh Quraisy telah menolak penyembahan berhala dan mencari agama Ibrahim. Ini kisah mereka.

BLOGSEJARAHSIRAH NABAWIYAHKISAH SAHABATJEJAK RASULARTIKEL

Ibnu Khidhir

7/2/20256 min baca

Sebelum cahaya wahyu menyinari Jazirah Arab, di tengah kegelapan syirik yang menguasai Mekkah, terdapat beberapa individu yang menolak ajaran jahiliah dan bersungguh-sungguh mencari agama yang hanif. Mereka menolak menyembah berhala, memprotes penyembelihan hewan untuk patung, dan menolak thawaf kepada benda mati. Kisah mereka diabadikan oleh Ibnu Ishaq dan menjadi penanda bahwa pencarian kebenaran adalah fitrah yang selalu hadir di hati manusia.

Empat Tokoh Hanif: Penentang Tradisi Jahiliah

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa suatu hari, ketika kaum Quraisy mengadakan perayaan dan melakukan ritual di sekitar berhala mereka, empat orang memilih menjauh. Mereka adalah Waraqah bin Naufal, Ubaidillah bin Jahsy, Utsman bin al-Huwairits, dan Zaid bin Amr bin Nufail. Keempatnya menganggap ritual itu sebagai penyimpangan dari ajaran Ibrahim AS. Mereka sadar bahwa kaum Quraisy telah menyimpang dari ketauhidan dan menjadikan berhala sebagai sembahan yang tidak bernyawa.

Salah satu dari mereka berkata, “Wahai kaumku, agama kalian bukanlah agama Ibrahim. Batu yang kalian thawaf itu tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak memberi manfaat maupun mudarat. Mari kita cari agama Ibrahim yang lurus.” Mereka kemudian berpencar ke berbagai negeri untuk mencari kebenaran dan ajaran tauhid yang murni.

Meskipun tidak termasuk dalam kelompok ini, Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai penjaga Ka'bah yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur warisan Ibrahim, seperti menjamu tamu, menyucikan Ka'bah, dan menjauhkan diri dari kezaliman. Namun, ia tidak secara terang-terangan meninggalkan penyembahan berhala. Abdul Muthalib disebut-sebut sebagai pengikut agama hanif dalam makna moralitas, bukan secara teologis. Ia tetap berada dalam tradisi masyarakat Quraisy, tanpa berani mengambil langkah ekstrem seperti keempat tokoh hanif tersebut. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang status tauhid Abdul Muthalib, namun sepakat bahwa beliau dijaga Allah dari kehinaan syirik yang kasar.

Waraqah bin Naufal: Ulama Ahli Kitab

Waraqah bin Naufal adalah sepupu Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah SAW, dan berasal dari keturunan yang mulia dalam suku Quraisy. Ia termasuk salah satu dari sedikit tokoh Arab Mekkah pada masa itu yang memiliki kemampuan membaca dan menulis, suatu keahlian langka di Jazirah Arab pra-Islam. Ketertarikannya terhadap pencarian spiritual membawanya untuk mempelajari agama-agama samawi terdahulu, terutama agama Yahudi dan Nasrani. Dengan tekun, ia mendalami Taurat dan Injil dalam bahasa aslinya, dan berusaha memahami pesan-pesan kenabian yang tertulis di dalamnya.

Pencarian itu membawanya kepada keyakinan bahwa akan datang seorang nabi terakhir dari kalangan Arab. Ia menemukan petunjuk tentang kemunculan seorang rasul dalam Injil, sebagaimana disebut dalam catatan Ibnu Ishaq bahwa Isa bin Maryam telah menyampaikan kabar tentang datangnya al-Munhamanna atau Paracletos—sebutan dalam bahasa Yunani yang oleh sebagian ulama ditafsirkan sebagai merujuk kepada Nabi Muhammad SAW. Waraqah yakin bahwa sosok ini adalah nabi yang ditunggu-tunggu umat manusia, sebagaimana dijanjikan dalam kitab suci sebelumnya. Karena itu, ia memilih untuk mengasingkan diri sebagai rahib dan tidak lagi terlibat dalam kehidupan masyarakat Quraisy yang penuh dengan kesyirikan.

Sebagai bentuk kesungguhan terhadap pencariannya, Waraqah mengasingkan diri dari kehidupan jahiliah Quraisy dan memilih hidup sebagai rahib. Ia menjauhkan diri dari pesta-pora dan penyembahan berhala, serta lebih banyak menghabiskan waktu dalam perenungan dan ibadah. Dalam keterasingannya itu, Waraqah tumbuh menjadi pribadi yang mendalam secara spiritual dan sangat peka terhadap tanda-tanda kenabian. Ia memahami nubuwat yang terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya dan meyakini bahwa masa kenabian akan segera datang, sebagaimana dijanjikan dalam Injil dan Taurat. Dengan ketenangan dan keyakinannya, Waraqah menjadi simbol ulama hanif di masa pra-Islam yang tetap menjaga integritas tauhid dalam pusaran kesyirikan Arab.

Ketika Rasulullah SAW menerima wahyu pertama di Gua Hira, Khadijah binti Khuwailid segera membawa beliau kepada sepupunya, Waraqah, karena ia tahu Waraqah adalah orang yang paling memahami wahyu dan tradisi para nabi sebelumnya. Setelah mendengar penuturan Rasulullah tentang kejadian di gua, Waraqah dengan yakin berkata, "Ini adalah Namus (Jibril) yang dulu juga datang kepada Musa." Ia pun menambahkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah terakhir yang disebutkan dalam kitab-kitab sebelumnya dan bahwa kaumnya akan mengusirnya suatu hari kelak. Perkataan ini menjadi pengakuan awal atas kenabian Muhammad SAW dari seorang tokoh Quraisy yang hanif dan berilmu.

Ubaidillah bin Jahsy: Murtad di Habasyah

Ubaidillah bin Jahsy adalah salah satu dari empat tokoh Quraisy yang berusaha mencari agama Ibrahim. Ia sempat memeluk Islam pada masa awal dakwah Rasulullah SAW dan termasuk golongan sahabat yang hijrah ke Habasyah bersama istrinya, Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Saat itu, hijrah ke Habasyah dianggap sebagai bentuk perlindungan dari tekanan Quraisy, dan Ubaidillah termasuk pelopor dalam perjuangan dini kaum Muslimin.

Namun, di negeri Habasyah, sebuah titik balik yang mengejutkan terjadi. Ubaidillah mulai meragukan Islam dan perlahan tertarik pada ajaran Kristen. Ia akhirnya murtad dan memeluk agama Kristen. Ia tetap tinggal di Habasyah dan meninggal dunia dalam keadaan bukan lagi sebagai seorang Muslim. Peristiwa ini menjadi catatan penting tentang ujian keimanan yang sangat berat di masa-masa awal dakwah Islam.

Ummu Habibah, istri Ubaidillah, tetap teguh dalam Islam dan tidak mengikuti langkah suaminya. Ketika mendengar kabar murtadnya Ubaidillah, Rasulullah SAW memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap kesetiaan iman Ummu Habibah dengan menikahinya. Pernikahan tersebut dilangsungkan di Habasyah oleh Raja Najasyi atas perintah Rasulullah SAW, dan mahar yang diberikan kepada Ummu Habibah sebesar 400 dinar. Ini merupakan salah satu pernikahan jarak jauh Nabi yang dilangsungkan dengan penuh penghormatan dan syariat yang tertib.

Pernikahan ini juga memiliki makna simbolik yang kuat—bahwa seorang Muslimah yang tetap teguh dalam iman di tengah ujian akan mendapatkan kedudukan mulia, bahkan meski ditinggalkan oleh pasangan yang murtad. Kisah Ummu Habibah menjadi teladan kesabaran, keteguhan iman, dan juga bukti bagaimana Islam menjaga kehormatan perempuan dalam kondisi yang sangat sulit sekalipun.

Utsman bin al-Huwairits: Kristen dan Kedekatannya dengan Kaisar Romawi

Utsman bin al-Huwairits adalah salah satu tokoh Quraisy yang memiliki kegelisahan terhadap agama kaumnya dan menolak penyembahan berhala. Ia memiliki tekad kuat untuk mencari agama yang benar. Setelah mengasingkan diri dari tradisi jahiliah Mekkah, ia melakukan perjalanan ke negeri Romawi (Bizantium) dan tertarik pada ajaran agama Kristen. Di sana, ia bertemu dengan Kaisar Bizantium yang dikenal sebagai pemimpin Kekaisaran Romawi Timur, dan karena kecerdasannya serta komitmennya terhadap agama baru, Utsman memperoleh kedudukan terhormat di sisi Kaisar.

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Utsman bin al-Huwairits bahkan berupaya untuk memanfaatkan kedekatannya dengan Kaisar demi mendapatkan dukungan politik agar bisa menjadi penguasa di Mekkah. Hal ini menunjukkan bahwa pencarian agamanya tidak semata-mata spiritual, tetapi juga berkaitan dengan idealisme perubahan sosial dan kepemimpinan yang lebih adil bagi masyarakat Mekkah. Ibnu Hisyam menyinggung kisah ini namun tidak menjabarkannya secara lengkap karena pertimbangan sensitivitas politik pada masa itu.

Kisah Utsman menggarisbawahi bagaimana pencarian agama bisa membawa seseorang ke pusat kekuasaan dunia kala itu. Ia merupakan representasi dari golongan Quraisy yang bukan hanya menolak kesyirikan, tetapi juga ingin mengambil peran aktif dalam perubahan umat manusia melalui jalur pemikiran dan diplomasi internasional. Meskipun kisah akhirnya tidak seterang tokoh-tokoh lainnya, jejak langkah Utsman bin al-Huwairits menjadi bukti bahwa semangat kehanifan telah menembus batas geografis dan budaya Arab pra-Islam.

Utsman bin al-Huwairits memeluk agama Kristen dan mengembara hingga ke Romawi. Ia bertemu Kaisar Bizantium dan mendapat kedudukan tinggi di sisi sang raja. Ibnu Hisyam menyinggung kisahnya bersama Kaisar, namun memilih tidak memaparkannya secara rinci karena mempertimbangkan sensitivitas narasi.

Zaid bin Amr bin Nufail: Hanif Sejati dan Martir Kebenaran

Zaid bin Amr bin Nufail menolak agama kaumnya namun tidak memeluk Yahudi maupun Kristen. Ia berkata, "Aku menyembah Tuhan Ibrahim," dan menolak menyembah berhala, memakan bangkai, dan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Ia sering berdiri di dekat Ka’bah dan berseru: “Wahai Quraisy! Tidak ada satu pun di antara kalian yang berada dalam agama Ibrahim selain aku.”

Zaid kemudian mengembara ke wilayah Syam dengan penuh semangat untuk menemukan jejak agama Ibrahim yang hanif. Ia mengunjungi berbagai komunitas Yahudi dan Nasrani, berdiskusi dengan para rahib dan pendeta, dan dengan cermat menyelami isi kitab-kitab suci mereka. Dalam perjalanannya, ia tiba di Al-Balqa', sebuah kawasan di wilayah Syam, dan bertemu dengan seorang pendeta tua yang sangat dihormati oleh para pemeluk Kristen karena ilmunya. Setelah Zaid menyampaikan kegelisahan hatinya dan keinginannya untuk mengikuti agama Ibrahim, pendeta itu berkata dengan serius, “Sesungguhnya agama yang engkau cari belum lagi muncul, tetapi masa kemunculan seorang nabi terakhir dari negerimu telah dekat. Ia akan datang dengan membawa ajaran Ibrahim yang lurus.”

Perkataan sang pendeta memberi harapan baru bagi Zaid. Dengan semangat yang membuncah, ia segera memutuskan kembali ke Mekkah agar dapat bertemu dengan sang nabi yang dijanjikan. Namun, takdir berkata lain. Dalam perjalanan pulangnya, ketika melewati wilayah Lakhm—di selatan Syam dan utara Jazirah Arab—ia dicegat oleh sekelompok orang dan dibunuh secara tragis. Ia wafat dalam keadaan memegang keyakinan tauhid murni, tanpa sempat melihat kemunculan Nabi Muhammad SAW yang kemudian diutus beberapa tahun setelah kematiannya. Kisah Zaid menjadi kisah seorang pencari kebenaran yang tulus, yang berkorban nyawa dalam pengabdiannya kepada satu Tuhan, dan menjadi simbol awal dari fitrah Islam yang tak pernah padam.

Puisi dan Keteguhan Zaid

Zaid dikenal menulis syair yang mengungkapkan tekadnya meninggalkan berhala dan menyembah Allah semata:

Apakah satu Tuhan ataukah seribu tuhan yang mesti aku sembah?
Ku tinggalkan Al-Lata dan Al-Uzza semuanya
Aku tidak menyembah Uzza dan dua anak wanitanya
Aku menyembah Ar-Rahman, Tuhanku
Agar Tuhan Yang Maha Pengampun mengampuni dosa-dosaku

Kesaksian Para Sahabat dan Rasulullah SAW

Asma’ binti Abu Bakar meriwayatkan bahwa ia melihat Zaid di masa tuanya bersandar ke Ka'bah dan berdoa penuh khusyuk. Sa’id bin Zaid, anaknya, bertanya kepada Rasulullah SAW apakah ia boleh memohonkan ampun untuk ayahnya. Rasulullah menjawab: “Ya. Dia akan dibangkitkan sebagai umat tersendiri.”

Ketika berita kematian Zaid sampai kepada Waraqah bin Naufal, ia menangis dan menyusun syair pujian:

Wahai anak Amr, kau telah dapatkan mahligai petunjuk dan nikmat
Karena engkau tinggalkan patung-patung thaghut yang tidak bisa berbuat apa-apa
Engkau berjumpa dengan kekasih Allah Ibrahim

Keempat tokoh ini menunjukkan bahwa fitrah kebenaran selalu hidup dalam hati manusia, bahkan sebelum kenabian Muhammad SAW. Mereka adalah pencari cahaya di tengah kegelapan jahiliyah. Zaid bin Amr, terutama, menjadi simbol kehanifan yang murni. Semoga kita mampu meneladani semangat pencarian dan keteguhan mereka.

Referensi:

  • Sirah Ibnu Ishaq

  • Sirah Ibnu Hisyam

  • Musnad Ahmad

  • Al-Tarikh al-Kabir

  • Al-Dalail karya al-Baihaqi

  • Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim oleh Abdul Mun’im al-Hasyimi