Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...
Kisah Pencarian Kebenaran Salman al-Farisi dan Tanda Kenabian Rasulullah SAW
Kisah epik perjalanan spiritual Salman al-Farisi dari Persia ke Madinah, mencari agama yang haq hingga bertemu Rasulullah SAW, menjadi bagian Ahlu Shuffah, dan meninggalkan warisan berupa Sumur Salman.
SEJARAHFIQHBLOGSIRAH NABAWIYAHKISAH SAHABAT
Ibnu Khidhir
6/30/20255 min baca


Dalam sejarah Islam, terdapat kisah luar biasa dari seorang pencari kebenaran yang melintasi ribuan kilometer demi agama yang hak. Ia bukanlah penduduk asli Arab, bukan pula keturunan suku Quraisy. Namanya adalah Salman al-Farisi, seorang Persia yang meninggalkan keluarganya, meninggalkan kemewahan hidup, dan menjual dirinya demi mendapatkan cahaya kebenaran. Kisah ini tercatat dalam Sirah Ibn Ishaq dan riwayat-riwayat sahih lainnya, serta menjadi bukti nyata bahwa hidayah Allah dapat menembus batas bangsa, status, dan geografi.
Awal Perjalanan: Dari Api Majusi ke Nasrani
Salman berasal dari desa Jayy di Asfahan, Persia. Ia adalah anak kesayangan ayahnya yang berpengaruh, bahkan diperlakukan bak anak perempuan—dikurung agar tidak keluar dari rumah. Sejak kecil, ia dibesarkan dalam agama Majusi, menjadi penjaga api yang tak boleh padam. Suatu hari, ketika ayahnya menyuruhnya ke ladang, Salman melewati sebuah gereja dan tertarik pada ibadah umat Kristen di dalamnya. Ia berkata, "Demi Allah, agama ini lebih baik daripada agama kami."
Ayahnya menolak keras ketertarikannya pada agama baru dan mengurungnya. Namun semangat mencari kebenaran membuat Salman menyuruh seseorang memberi tahu jika ada rombongan dari Syam yang akan datang. Ketika rombongan pedagang Kristen dari Syam datang, Salman melarikan diri dan ikut bersama mereka ke Syam, tempat awal ia mengenal kehidupan para rahib Kristen.
Dari Rahib ke Rahib: Pencarian Agama Nabi Ibrahim
Di Syam, Salman berguru kepada seorang uskup yang kemudian diketahui korup dan memakan sedekah umatnya sendiri. Setelah uskup itu wafat dan ketidakjujurannya terbongkar, Salman berpindah ke uskup kedua yang dikenal jujur dan saleh. Ia berpindah dari Syam ke Al-Maushil, lalu ke Nashibin, hingga ke Ammuriyah di Romawi. Setiap gurunya mewasiatkan agar Salman pergi ke rahib lain yang masih menjaga agama Ibrahim alaihissalam yang murni.
Di Ammuriyah, Salman memiliki sapi dan kambing hasil kerja keras. Sebelum rahib terakhirnya wafat, ia memberi kabar bahwa telah dekat waktu kemunculan seorang Nabi terakhir yang hijrah ke sebuah negeri di antara dua tanah berbatu hitam, di mana banyak tumbuh pohon kurma—sebuah kota bernama Yatsrib (Madinah).
Diperjualbelikan dan Tiba di Madinah
Ketika rombongan Arab melintas, Salman menawarkan hewan ternaknya agar mereka membawanya ke tanah Arab. Namun ia dikhianati dan dijual sebagai budak kepada seorang Yahudi, lalu dijual kembali kepada sepupunya dari Bani Quraizhah dan dibawa ke Madinah. Salman sangat gembira karena tanda-tanda kota yang disebut rahibnya kini berada di hadapannya. Ia melihat pohon kurma dan tanah berbatu hitam sebagaimana ciri-ciri yang diberikan.
Pada saat Rasulullah SAW hijrah ke Madinah dan tinggal di Quba', Salman mendengar kabar tentang kedatangan beliau. Ia segera datang membawa makanan dan berkata: "Aku mendengar engkau orang shalih dan engkau memiliki sahabat yang membutuhkan. Ini sedekah untukmu." Rasulullah SAW tidak menyentuhnya sama sekali, tapi menyuruh para sahabatnya untuk makan. Salman berkata, "Itulah tanda pertama."
Hari berikutnya ia datang membawa hadiah dan kali ini Rasulullah SAW memakan makanan itu. "Itulah tanda kedua," katanya.
Setelah Salman yakin dengan tanda-tanda kenabian pada diri Nabi Muhammad—sebagaimana yang dia ketahui dari pendeta Nasrani; tidak menerima sedekah, hanya menerima hadiah, dan memiliki 'cap kenabian' di punggungnya—ia mencari kesempatan melihat stempel kenabian itu secara langsung. Ketika melihat tanda tersebut di punggung Rasulullah, ia menangis dan mencium punggung beliau seraya menyatakan keimanannya. Rasulullah SAW kemudian meminta Salman untuk menceritakan seluruh kisah perjalanannya kepada para sahabat, agar menjadi pelajaran bagi mereka dan bagi umat Islam sepanjang masa.
Salman dan Perang Khandaq
Karena statusnya sebagai budak, Salman tidak dapat ikut Perang Badar dan Uhud. Setelah Salman menyatakan keislamannya dan mengenali tanda-tanda kenabian pada diri Rasulullah—yakni tidak menerima sedekah, hanya menerima hadiah, dan memiliki cap kenabian di punggungnya—Nabi Muhammad kemudian meminta Salman al-Farisi untuk membuat perjanjian, dalam ilmu fiqh dikenal dengan akad mukatabah dengan majikannya. Berdasarkan riwayat yang disebut dalam "Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim" (Abdul Mun’im al-Hasyimi, 2018), Salman berjanji akan menanam 300 benih pohon kurma dan menyerahkan 40 uqiyyah (setara dengan 4,76 kg perak). Majikannya pun menyetujui perjanjian itu.
Nabi Muhammad kemudian memerintahkan para sahabat untuk membantu mengumpulkan bibit kurma. Ada yang menyumbang 10, 15, 20 hingga terkumpul 300 bibit. Setelah terkumpul, Nabi meminta Salman untuk menggali lubang-lubang tanahnya, dan kemudian Rasulullah sendiri yang menanam pohon-pohon tersebut bersama para sahabat. Keajaiban terjadi—seluruh pohon kurma itu tumbuh tanpa satu pun yang mati, bahkan berbuah dalam satu tahun, padahal normalnya pohon kurma baru berbuah setelah lima tahun.
Satu syarat telah terpenuhi, namun Salman masih harus melunasi 40 uqiyyah. Tak lama kemudian, Rasulullah datang membawa emas sebesar telur ayam. Meskipun kecil, ketika ditimbang ternyata beratnya tepat 40 uqiyyah, cukup untuk menebus kebebasan Salman. Maka sejak itu, Salman al-Farisi menjadi manusia merdeka dan tidak lagi menyandang status budak. Ia pun mulai aktif mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, dimulai dari Perang Khandaq.
Tak lama kemudian, Rasulullah mendapatkan emas sebesar telur ayam dari tambang dan menyerahkannya kepada Salman, berkata, "Bayarlah utangmu dengan ini." Salman tak percaya emas sekecil itu cukup, namun ketika ditimbang, beratnya ternyata tepat 40 uqiyyah, cukup untuk membebaskannya. Maka Salman pun menjadi orang merdeka dan bergabung dengan pasukan Muslimin dalam Perang Khandaq, serta semua peperangan setelahnya.
Salman di Madinah: Ahlu Shuffah dan Sumur Salman
Setelah merdeka, Salman tinggal di Madinah dan menjadi salah satu Ahlu Shuffah, sekelompok sahabat fakir yang tinggal di serambi Masjid Nabawi dan memperoleh ilmu serta bimbingan langsung dari Rasulullah SAW. Kehidupan spiritualnya begitu mendalam, hingga Rasulullah SAW pernah bersabda: Salman minna Ahlul-Bait — "Salman adalah bagian dari keluarga kami."
Salah satu jejak sejarah yang berkaitan erat dengannya dan kini menjadi destinasi ziarah jamaah umrah adalah Sumur Salman. Sumur ini terletak di kawasan bekas kebun kurma yang dahulu ditanami Salman dalam rangka membayar pembebasan dirinya melalui akad mukatabah. Di kebun inilah, Rasulullah SAW sendiri turut membantu menanam 300 pohon kurma demi membebaskan Salman dari perbudakan. Keajaiban pun terjadi: tidak satu pun pohon yang mati, dan semua tumbuh dengan subur lalu berbuah dalam waktu satu tahun—sesuatu yang secara alami membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Kawasan ini kini dikenal dengan nama Kebun Kurma Salman al-Farisi, terletak tidak jauh dari Bi’rul Ghars di Madinah. Di dalamnya masih terdapat sumur tua yang diyakini sebagai tempat Rasulullah membawa emas sebesar telur ayam yang digunakan untuk melunasi sisa 40 uqiyah perak dalam akad mukatabah Salman. Sumur ini dikenal dengan nama Sumur Tebusan atau Bi’ru Salman, dan menjadi simbol sejarah tentang pembebasan, perjuangan, serta keteladanan Nabi Muhammad SAW yang secara langsung turun tangan membantu sahabatnya yang tertindas.
Kini, jamaah umrah kerap mengunjungi lokasi ini untuk merenungi jejak-jejak perjuangan para sahabat, terutama bagaimana Islam menghapus perbudakan dengan cara yang elegan. Dari kebun ini pula, kita belajar bahwa seorang pemimpin bukan hanya memberi perintah, tetapi juga melayani dan terlibat langsung menyelesaikan kesulitan umatnya, sebagaimana Nabi Muhammad bersabda, "Sayyidul qaum khadimuhum"—pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.
Kesaksian Para Ulama dan Riwayat Tambahan
Dalam satu riwayat lain, Salman bertemu seorang tabib yang disebut-sebut bisa menyembuhkan penyakit hanya dengan doa. Ketika Salman bertanya padanya tentang agama Ibrahim, orang itu menjawab bahwa sebentar lagi akan datang seorang Nabi dari tanah suci. Maka pergilah kepadanya, niscaya ia membimbingmu.
Dalam riwayat Ibn Ishaq, Rasulullah SAW bersabda kepada Salman: "Jika apa yang kamu ceritakan ini benar, engkau telah bertemu dengan Isa bin Maryam." Hadits ini lemah, namun menunjukkan bahwa Salman menempuh jalan panjang yang penuh kejujuran dan pengorbanan.
Kisah Salman al-Farisi adalah kisah pencarian, ketekunan, dan hidayah. Ia menembus batas budaya, bahasa, bahkan perbudakan demi satu hal: kebenaran sejati. Rasulullah SAW bersabda tentang Salman, "Salman adalah bagian dari keluarga kami."
Kisahnya menjadi bukti bahwa hidayah Allah akan sampai pada siapa pun yang benar-benar mencarinya dengan hati yang tulus. Dari Jayyu di Persia hingga Madinah, jejak Salman adalah jejak para pencari kebenaran sepanjang masa. Kini, Masjid Quba, Sumur Salman, dan bekas kebun kurma menjadi saksi sejarah yang hidup dan menginspirasi setiap jamaah yang datang.
Referensi:
Sirah Ibn Ishaq
Musnad Ahmad no. 23788-23789
Al-Silsilah al-Shahihah no. 894 oleh Al-Albani
Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibn Katsir
Al-Dalail karya Al-Baihaqi
Wafa’ al-Wafa’ oleh Nuruddin al-Samhudi
Al-Tarikh al-Madani oleh Umar al-Waqidi