Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...
Tradisi Titipan Doa: Dari Solidaritas Hingga Komodifikasi
Tak hanya menjadi perjalanan spiritual pribadi, banyak jemaah Indonesia juga membawa titipan doa dari keluarga, sahabat, bahkan rekan kerja dan komunitas media sosial
FIQHBLOGARTIKEL
Ibnu Khidhir
6/14/20253 min baca


Musim haji dan umrah selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam. Tak hanya menjadi perjalanan spiritual pribadi, banyak jemaah Indonesia juga membawa titipan doa dari keluarga, sahabat, bahkan rekan kerja dan komunitas media sosial. Tradisi menitip doa ini sudah mengakar kuat, didasari keyakinan bahwa doa di Tanah Suci—di depan Ka’bah, Raudhah, atau Multazam—lebih mustajab dan peluang dikabulkan Allah sangat besar.
Pada dasarnya, titipan doa adalah wujud solidaritas dan kepedulian sesama Muslim. Namun, seiring kemajuan teknologi dan tren digital, fenomena ini berkembang: kini banyak jasa titip doa yang bersifat komersial, baik melalui travel, influencer, maupun “paket doa” online. Fenomena ini memunculkan pertanyaan tentang batas adab, keikhlasan, dan bahkan potensi komodifikasi spiritual.
Hukum Mendoakan Orang Lain: Dalil Al-Qur’an, Hadis, dan Fatwa Ulama
Mendoakan orang lain adalah amalan mulia dalam Islam, sangat dianjurkan oleh Al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami…’” (QS. Al-Hasyr: 10)
Dalam hadits shahih, Rasulullah SAW bersabda:
"Doa seorang Muslim untuk saudaranya (seiman) tanpa sepengetahuannya, akan dikabulkan. Malaikat di sampingnya akan berkata, 'Amin, dan bagimu seperti itu juga.'” (HR. Muslim)
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa mendoakan sesama Muslim adalah ibadah yang sangat dianjurkan, dan pahalanya besar, terutama jika dilakukan dengan tulus. Lembaga fatwa Mesir (Dar al-Ifta) dan ulama Saudi juga sepakat bahwa doa untuk orang lain sangat mulia dan bisa menjadi sebab tercurahnya rahmat Allah, baik untuk yang berdoa maupun yang didoakan. Mendoakan orang lain di tempat mulia seperti Tanah Suci sangat dianjurkan, selama dilakukan dengan adab dan tanpa riya’.
Komodifikasi Spiritual dan Fenomena Jasa Titip Doa
Perkembangan media sosial dan digital marketing memunculkan tren jasa titip doa yang bersifat komersial. Ada yang menawarkan layanan membacakan nama-nama titipan doa dengan tarif tertentu, bahkan memberi “bukti” berupa foto, video, atau sertifikat. Praktik ini dikenal sebagai komodifikasi spiritual—ibadah dan amalan suci dijadikan layanan berbayar atau ajang konten viral.
Sebagian pihak menilai ini adalah bentuk inovasi agar lebih banyak orang bisa “terhubung” secara spiritual ke Tanah Suci. Namun, mayoritas ulama mengingatkan bahayanya:
MUI menyatakan jasa titip doa berbayar hukumnya makruh, bahkan mendekati haram, karena berpotensi menghilangkan keikhlasan dan mengaburkan nilai ibadah.
Ulama Saudi dan Mesir juga menegaskan agar ibadah di Tanah Suci tetap diniatkan lillahi ta’ala, tidak dicampur motif bisnis, riya’, atau pencitraan. Mendoakan orang lain tanpa imbalan adalah amalan sunnah, tetapi bila diniatkan untuk mencari keuntungan materi, dikhawatirkan merusak niat dan pahala.
Adab Berdoa untuk Orang Lain: Batasan, Niat, dan Media Sosial
Syariat Islam sangat menekankan adab dan keikhlasan dalam berdoa. Mendoakan orang lain dianjurkan tanpa menuntut balasan dan tanpa pamer. Rasulullah SAW mengajarkan agar berdoa dengan rendah hati, ikhlas, tidak berlebihan, dan tidak menjadikan ibadah sebagai ajang riya’ atau pencitraan.
Dalam konteks titipan doa di era media sosial:
Disunnahkan untuk menerima titipan doa dengan niat membantu saudara Muslim, bukan mencari popularitas atau pujian.
Tidak dianjurkan memamerkan aktivitas doa lewat foto atau video, kecuali sekadar berbagi kebahagiaan secara wajar dan tidak berlebihan.
Tidak mengambil keuntungan materi dari jasa titip doa. Adab dan keikhlasan harus menjadi prioritas utama.
Fatwa ulama di Indonesia, Saudi, dan Mesir sama-sama mengingatkan agar tidak “memperjualbelikan” doa. Jika ingin membantu banyak orang dengan doa di Tanah Suci, lakukan secara sukarela dan tulus.
Refleksi Sosial: Titipan Doa, Ekspektasi, dan Tanggung Jawab Jamaah
Fenomena titipan doa juga membawa dinamika sosial. Banyak jamaah yang merasa “terbebani” dengan puluhan hingga ratusan titipan doa, apalagi jika disertai ekspektasi dokumentasi atau laporan khusus. Hal ini bisa mengganggu kekhusyukan dan tujuan utama ibadah haji atau umrah.
Jamaah haji sebaiknya:
Selektif dalam menerima titipan doa, menjaga proporsionalitas agar fokus ibadah utama tidak terganggu.
Menjelaskan kepada pemberi titipan bahwa hasil doa ada di tangan Allah, dan tidak perlu dijanjikan secara khusus.
Menjaga komunikasi dan adab, tidak memperjualbelikan aktivitas doa, serta mengingatkan masyarakat untuk tidak berlebihan dalam menitipkan permintaan.
Pada akhirnya, saling mendoakan adalah wujud ukhuwah dan solidaritas, tetapi tetap harus dilakukan dalam koridor adab, syariat, dan keikhlasan.
Tradisi titipan doa dan mendoakan orang lain di Tanah Suci adalah amalan yang dianjurkan dan berpahala besar. Namun, komodifikasi spiritual dan komersialisasi jasa titip doa harus dihindari. Adab, niat, serta keikhlasan adalah kunci utama agar doa menjadi ibadah yang sah dan penuh berkah. Jamaah haji dan umrah diingatkan untuk selalu menjaga kemurnian niat, tidak terjebak tren viral atau motivasi materi, serta mengedepankan adab Islam dalam berdoa dan beribadah.