Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...
Undian dan Dadu: Inikah yang Dilakukan Bangsa Arab Jahiliyah pra-Islam? Kisah Nazar Abdul Muthalib
Kisah nazar Abdul Muthalib, tradisi dadu Hubal, dan pengorbanan yang menyelamatkan ayah Nabi Muhammad SAW. Jejak sejarah pra-Islam yang menggugah.
SEJARAHBLOGARTIKELSIRAH NABAWIYAH
Ibnu Khidhir
6/25/20254 min baca


Apa yang terjadi ketika seorang tokoh terhormat dari suku Quraisy bernazar untuk menyembelih anaknya demi memenuhi janji kepada Tuhan? Bagaimana masyarakat Arab pra-Islam memutuskan perkara penting melalui sepotong dadu? Kisah nazar Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW, bukan sekadar cerita keluarga—tetapi lembaran sejarah penuh simbol, spiritualitas, dan pergulatan antara keyakinan dan tradisi Jahiliyah.
Melalui kisah ini, kita menyelami bagaimana masyarakat Arab sebelum Islam meletakkan kepercayaan mereka pada berhala dan praktik perdukunan, dan bagaimana Allah SWT menunjukkan kasih sayang-Nya kepada keluarga Rasulullah sejak generasi sebelumnya. Riwayat ini banyak ditemukan dalam kitab "Sirah Ibn Ishaq" dan diriwayatkan oleh Ibn Hisyam, serta disinggung oleh para ulama seperti Imam Nawawi dan Imam Al-Ghazali dalam pembahasan tentang nazar dan diyat.
1. Nazar Abdul Muthalib sebagai Ungkapan Syukur
Abdul Muthalib bukanlah tokoh biasa. Ia dikenal sebagai pemuka Quraisy yang menemukan kembali Sumur Zamzam—sebuah peristiwa monumental dalam sejarah Makkah. Dalam rasa syukurnya kepada Allah atas anugerah besar ini, Abdul Muthalib mengikrarkan nazar: jika ia diberi sepuluh anak laki-laki yang dewasa dan mampu melindunginya, maka ia akan mengorbankan salah satu dari mereka di sisi Ka'bah.
Meskipun terdengar mengerikan bagi pendengaran modern, pengorbanan manusia bukanlah hal asing dalam budaya Semitik kuno. Seperti kisah Nabi Ibrahim AS dalam Al-Qur’an (QS. Ash-Shaffat: 102-107), bentuk pengorbanan manusia dianggap sebagai puncak ketaatan, meski kemudian Allah menggantikannya dengan sembelihan lain. Dalam kasus Abdul Muthalib, niat ini adalah bentuk ikrar spiritual yang sangat serius dan menunjukkan tingkat komitmen luar biasa.
2. Tradisi Dadu di Ka'bah: Simbol Keputusan Ilahi dalam Budaya Jahiliyah
Ketika anak-anak Abdul Muthalib telah genap sepuluh orang, ia merasa waktunya telah tiba untuk menepati janjinya. Namun siapa yang harus dikorbankan? Di sinilah budaya Jahiliyah menampakkan wajahnya: undian menggunakan dadu yang ditempatkan di sisi patung Hubal, berhala utama di dalam Ka’bah.
Ibnu Ishaq mencatat bahwa di sisi patung Hubal terdapat tujuh buah dadu, masing-masing dengan tulisan: “Al-‘Aqlu” (denda darah), “Na’am” (ya), “Laa” (tidak), “Minkum” (dari kalian), “Min Ghairikum” (dari selain kalian), “Mulshaq” (tidak jelas nasab), dan “Al-Miyahu” (air/sumur). Ketika orang Quraisy hendak memutuskan perkara seperti pembunuhan, pernikahan, atau nasab, mereka akan mengocok dadu-dadu ini sebagai bentuk 'istikharah' kepada berhala.
Misalnya, jika seseorang ragu terhadap keturunan anaknya, ia akan membawa anak tersebut ke Hubal bersama hewan sembelihan dan seratus dirham. Jika keluar dadu “Minkum,” maka anak itu dianggap sah dari keturunannya. Jika keluar “Min Ghairikum,” berarti anak itu tidak sah secara nasab. Ini menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan kepada dadu sebagai keputusan ilahi dalam masyarakat pra-Islam.
Ketika Abdul Muthalib menyerahkan anak-anaknya untuk diundi, setiap anak diberi satu dadu bertuliskan namanya. Ketika dadu dikocok, yang muncul adalah nama Abdullah—anak terakhir sekaligus yang paling dicintainya. Maka sesuai nazar, Abdullah-lah yang harus dikorbankan.
3. Penolakan Quraisy dan Solusi Melalui Dukun Wanita
Berita tentang niat Abdul Muthalib segera tersebar. Masyarakat Quraisy gempar. Mereka khawatir jika Abdul Muthalib melaksanakan nazarnya, maka pengorbanan manusia akan kembali menjadi norma yang justru merusak tatanan sosial. Beberapa pemuka Quraisy dari Bani Makhzum menyarankan agar ia mencari alternatif lain. Mereka menyarankan agar Abdul Muthalib berkonsultasi dengan seorang kahinah (dukun wanita) di Khaybar yang dikenal memiliki pendamping jin.
Dalam “Sirah Ibn Ishaq” yang dinukil oleh Ibnu Hisyam, dukun wanita tersebut menyarankan agar dilakukan undian ulang antara Abdullah dan sepuluh ekor unta. Jika dadu tetap menunjukkan nama Abdullah, maka jumlah unta harus ditambah sepuluh ekor setiap kali sampai akhirnya dadu menunjukkan nama unta. Jika unta yang muncul, maka sembelihan itu menjadi sah sebagai tebusan Abdullah.
Nasihat ini memberi jalan keluar yang manusiawi dan tetap menjaga kesucian nazar. Tradisi pengorbanan manusia pun berhasil dihindari, dan budaya Quraisy perlahan mulai mengganti praktik ekstrem ini dengan pengorbanan hewan, yang kelak disempurnakan oleh syariat Islam.
4. Tercapainya Ridha Allah: Seratus Unta Disembelih
Abdul Muthalib pun pulang dan melakukan pengundian ulang. Awalnya dadu terus menunjukkan nama Abdullah, hingga jumlah unta mencapai sembilan puluh. Baru ketika jumlahnya genap seratus, dadu yang muncul menunjukkan nama unta. Namun Abdul Muthalib belum yakin. Ia meminta agar undian diulang dua kali lagi untuk memastikan, dan hasilnya tetap sama: nama unta.
Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Hisyam, setelah memastikan sebanyak tiga kali, Abdul Muthalib akhirnya menyembelih seratus ekor unta sebagai pengganti Abdullah. Dagingnya dibiarkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat Makkah sebagai bentuk sedekah besar.
Peristiwa ini menjadi awal ditetapkannya nilai diyat (tebusan jiwa) dalam syariat Islam sebesar seratus ekor unta—sebuah warisan dari peristiwa spiritual ini yang kemudian diabadikan dalam fiqh dan hadis-hadis shahih, seperti dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
5. Hikmah dan Pelajaran Moral dari Kisah Nazar Abdul Muthalib
Kisah ini mengandung banyak hikmah mendalam. Pertama, tentang kesungguhan seorang hamba dalam menepati nazarnya. Abdul Muthalib menunjukkan ketaatan luar biasa kepada Tuhan, meski yang menjadi taruhannya adalah anak kandungnya sendiri.
Kedua, tentang peran komunitas dalam mencegah praktik yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Penolakan Quraisy menunjukkan bahwa masyarakat tetap memiliki nilai-nilai moral, meski dalam bingkai kepercayaan Jahiliyah.
Ketiga, kisah ini menunjukkan bahwa Allah SWT Maha Pengasih. Dalam kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, maupun kisah Abdullah, Allah selalu menunjukkan kasih sayang-Nya dengan memberikan pengganti sembelihan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (QS. Ash-Shaffat: 107)
Keempat, kisah ini menegaskan pentingnya menimbang maslahat umum dan akal sehat dalam menjalankan syariat. Meski bernazar adalah bagian dari syariat, syariat juga tidak boleh membahayakan kehidupan atau menimbulkan kerusakan sosial.
Dengan demikian, kisah ini bukan hanya mengajarkan sejarah, tetapi juga nilai-nilai keislaman yang menyentuh etika, hukum, dan spiritualitas. Abdullah yang kelak menjadi ayah Nabi Muhammad SAW pun diselamatkan—dan dari situ, Allah memulai jalan bagi kelahiran seorang nabi pembawa rahmat bagi seluruh alam.