Al-Ula: Kota Terkutuk yang Kini Jadi Tempat Pesta — Akankah Saudi Mengulangi Kesalahan Kaum Tsamud?
Dulu tempat azab kaum Tsamud, kini Al-Ula menjadi destinasi konser dan festival dunia. Akankah sejarah terulang? Simak kisah dan refleksi sejarah dari Al-Ula, kota terkutuk yang menjadi bagian warisan dunia UNESCO.
SEJARAH ISLAMBLOGSEJARAHARTIKELBERITAKISAH NABI
Ibnu Khidhir
10/22/20254 min baca


Di jantung barat laut Arab Saudi, sebuah kota kuno tengah menjadi sorotan dunia. Namanya Al-Ula — lembah luas yang dikelilingi tebing batu berwarna kemerahan, kini berubah menjadi destinasi wisata paling ambisius di bawah proyek Vision 2030 Kerajaan Saudi.
Festival musik, pertunjukan seni, dan konser internasional kini rutin digelar di antara batu-batu purba. Balon udara bertebaran di langit gurun, sementara ribuan wisatawan berdatangan dari berbagai negara.
Namun, di balik keindahan dan modernitas itu, Al-Ula menyimpan kisah kelam yang pernah mengguncang sejarah manusia: tanah inilah yang dahulu menjadi tempat tinggal kaum Tsamud, umat yang dibinasakan Allah karena mendustakan Nabi Shalih ‘alaihissalam.
Pertanyaannya, di tengah semangat membangun pariwisata dan ekonomi, apakah manusia sedang melupakan pesan dari sejarah?
Jejak Kaum Tsamud: Antara Kejayaan dan Kehancuran
Kaum Tsamud adalah bangsa besar yang hidup di kawasan Hijaz bagian utara, ribuan tahun sebelum masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka dikenal tangguh dan berperadaban tinggi.
Al-Qur’an menggambarkan mereka sebagai kaum yang mampu memahat gunung menjadi rumah, simbol kekuatan dan kemakmuran luar biasa.
“Dan (ingatlah) ketika Dia menjadikan kamu penerus-penerus setelah kaum ‘Ad dan menempatkan kamu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah datar dan kamu pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah.”
(QS. Al-A‘rāf: 74)
Namun, kemakmuran itu berubah menjadi kesombongan. Ketika Nabi Shalih ‘alaihissalam diutus untuk menyeru mereka agar menyembah Allah semata, mereka menolak dengan angkuh. Mereka bahkan menuntut mukjizat yang mustahil, hingga Allah keluarkan seekor unta betina dari celah batu besar sebagai tanda kekuasaan-Nya.
Alih-alih beriman, mereka justru membunuh unta itu. Nabi Shalih ‘alaihissalam memperingatkan, namun semuanya terlambat.
Tak lama kemudian, suara pekikan dahsyat datang dari langit. Seluruh kaum Tsamud tewas dalam sekejap.
Rumah-rumah batu yang mereka banggakan berubah menjadi monumen sunyi yang menyimpan peringatan bagi generasi setelahnya.
Tempat itu kini dikenal sebagai Mada’in Shalih, bagian dari wilayah Al-Ula modern.
Larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Berabad-abad kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati wilayah ini saat menuju Tabuk. Para sahabat kala itu sempat mengambil air dari sumur peninggalan kaum Tsamud untuk memasak dan membuat adonan roti.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka melanjutkan hal itu. Beliau memerintahkan agar air dibuang dan adonan dihancurkan, seraya bersabda:
“Janganlah kalian memasuki tempat-tempat yang pernah dihuni oleh orang-orang yang diazab, kecuali dalam keadaan menangis. Jika kalian tidak bisa menangis, maka janganlah memasukinya, karena kalian bisa tertimpa azab seperti yang menimpa mereka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pesan itu menjadi peringatan agar setiap orang yang melewati tanah tersebut tidak bersenang-senang di atas tempat yang pernah menjadi simbol murka Allah. Al-Ula, dengan segala keindahannya, sejatinya adalah tempat renungan dan rasa takut kepada-Nya.
Al-Ula Modern: Dari Lembah Azab ke Destinasi Wisata Dunia
Sejak diumumkannya proyek Vision 2030, Arab Saudi tengah berupaya membuka diri terhadap dunia internasional. Salah satu fokus utamanya adalah pengembangan sektor pariwisata budaya dan sejarah, dengan Al-Ula sebagai ikon utama.
Melalui Royal Commission for Al-Ula (RCU), kawasan ini dibangun ulang dengan konsep “museum terbuka terbesar di dunia.”
Konser musik berskala global seperti Winter at Tantora dan Azimuth Festival kini menjadi agenda tahunan. Gedung konser kaca raksasa Maraya Hall bahkan masuk daftar Guinness World Records sebagai bangunan cermin terbesar di dunia.
Musisi kelas dunia seperti Alicia Keys, OneRepublic, Andrea Bocelli, dan Jason Derulo pernah tampil di tengah bebatuan purba yang dahulu menjadi rumah kaum Tsamud.
Transformasi ini membuat Al-Ula menjadi salah satu pusat budaya paling populer di Timur Tengah. Namun, tak sedikit pula kalangan ulama dan pengamat yang menilai langkah ini mengandung risiko spiritual. Mereka mengingatkan bahwa tempat azab seharusnya menjadi tanda peringatan, bukan arena pesta.
Suara yang Terbelah: Antara Modernisasi dan Peringatan
Kalangan pendukung proyek ini menilai bahwa pembukaan Al-Ula untuk publik adalah bagian dari upaya mengenalkan sejarah Arab kepada dunia, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Mereka melihatnya sebagai simbol kemajuan dan bukti bahwa masa lalu bisa dihidupkan kembali dalam bentuk yang positif.
Namun, kalangan ulama dan cendekiawan Muslim memandangnya berbeda.
Syaikh Shalih Al-Fauzan menegaskan:
“Tempat yang Allah binasakan karena maksiat adalah tanda bagi orang beriman untuk mengambil pelajaran, bukan tempat hiburan.”
Pandangan ini menegaskan bahwa nilai spiritual dan sejarah tidak boleh diabaikan dalam nama kemajuan.
Ketika tanah peringatan berubah menjadi tempat perayaan, dikhawatirkan manusia akan kehilangan rasa takut kepada Allah — sebuah kehilangan yang lebih berbahaya dari kehancuran fisik itu sendiri.
Pelajaran Bagi Dunia Modern
Fenomena Al-Ula mencerminkan wajah dunia modern hari ini: kemajuan teknologi dan ekonomi berjalan cepat, tetapi kesadaran spiritual kian menipis.
Manusia mudah terpukau oleh cahaya dan kemegahan, namun jarang merenungkan makna di balik sejarah yang dibangun oleh darah dan dosa masa lalu.
Seruan Nabi Shalih ‘alaihissalam tetap bergema dalam ayat-ayat Allah:
“Hai kaumku, sembahlah Allah, tiada Tuhan bagimu selain Dia.”
(QS. Hud: 61)
Sebuah pesan sederhana, tapi sering dilupakan ketika dunia terlalu sibuk membangun panggung.
Al-Ula kini berdiri megah dengan bangunan kaca yang memantulkan cahaya matahari gurun. Namun di balik pantulan itu, ada bayangan sejarah yang tidak bisa dihapus.
Kota ini adalah cermin bagi manusia: di satu sisi menunjukkan kemajuan, di sisi lain mengingatkan tentang kehancuran akibat kesombongan.
Modernisasi bukan kesalahan, tetapi lupa terhadap pesan langit adalah awal dari kebinasaan baru.
Jika dulu kaum Tsamud binasa karena menolak kebenaran, maka zaman ini bisa hancur karena menganggap peringatan sebagai hiburan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan,
“Masukilah dengan hati yang menangis.”
Sebuah pesan yang seharusnya tetap hidup setiap kali seseorang berdiri di hadapan batu-batu purba Al-Ula — tanah yang indah, tapi juga mengingatkan bahwa kemegahan tanpa iman hanyalah ilusi sementara.
Baca Juga:
>>Perjalanan Lintas Waktu: Festival Modern Souq Ukaz di Arab Saudi
>>Keindahan Tersembunyi di Kota Taif, Makkah, Saudi Arabia
>>Kisah Inspiratif Perjalanan Haji Ibnu Battuta
>>Mengapa Nabi Hijrah Ke Madinah? Ini Alasannya!
>>Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah
>>Manasik Umrah Lengkap 2025: Panduan Doa, Tata Cara, dan Tips Jamaah
>>Niat Umrah Bersyarat: Doa Arab, Terjemahan, dan Penjelasan Lengkap
>>Fast Track Raudhah: Apa Itu, Cara Daftar, dan Keuntungan bagi Jamaah
>>Rahasia Bisa Masuk Raudhah Lebih dari Sekali dalam Sehari
>>Misteri dan Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah
>>Panduan Aplikasi Nusuk 2025: Cara Daftar, Booking Raudhah, dan Fast Track
>>Bolehkah Perempuan Melaksanakan Umrah Saat Haid? Begini Penjelasan Ulama
>>Berapakah Tarif Biaya Badal Umrah 2025?
>>Mengapa Umrah Disebut Haji Kecil? Ini Dia Sejarahnya!
>>Inilah Alasan Mengapa Ka'bah Dipenuhi Oleh Berhala Pada Masa Jahiliyah!
