Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...

Kisah Inspiratif Perjalanan Haji Ibn Battuta: Dari Tangier ke Makkah

Ikuti kisah inspiratif perjalanan haji Ibn Battuta abad ke-14 dari Tangier ke Makkah. Catatan asli Rihlah mengungkap perjuangan, ilmu, dan makna mendalam bagi jamaah haji masa kini.

BLOGARTIKELUMRAH MANDIRIKISAH SAHABATINSPIRASI

Ibnu Khidhir

8/1/20254 min baca

Kisah Inspiratif Perjalanan Haji Ibn Battuta: Dari Tangier Menuju Baitullah

Pada tahun 1325, di kota kecil Tangier, Maroko, seorang pemuda bernama Abu Abdullah Muhammad Ibn Battuta bersiap untuk perjalanan yang akan mengubah hidupnya. Usianya baru dua puluh satu tahun, namun hatinya sudah terpaut pada Tanah Suci. Ia meninggalkan rumah dengan tekad bulat: menunaikan ibadah haji ke Makkah. Tidak ada kereta cepat, tidak ada pesawat, bahkan tidak ada kepastian bahwa ia akan kembali. Yang ada hanyalah kafilah unta, jalan berdebu, dan niat yang tak tergoyahkan.

Dalam catatan perjalanannya, Rihlah, Ibn Battuta menulis:

“Aku meninggalkan tanah kelahiranku sendirian, tanpa sahabat yang menemani, tanpa kafilah yang kuikuti. Dorongan yang menggerakkanku hanyalah niat menunaikan ibadah haji.”

Keberangkatan itu bukan sekadar fisik, tetapi ujian hati. Ia bahkan tak sanggup berpamitan langsung kepada orang tuanya, karena air mata akan terlalu berat untuk ditanggung. Dari awal, perjalanan haji ini sudah menjadi kisah inspiratif tentang keberanian, pengorbanan, dan ketulusan niat.

Perjalanan panjang dimulai dengan melintasi Afrika Utara. Bersama kafilah jamaah haji lain, Ibn Battuta harus menahan panas padang pasir Sahara, udara kering yang menyayat, dan ancaman perampok yang selalu mengintai. Tidak jarang persediaan air habis sebelum mencapai oasis berikutnya. Ada jamaah yang jatuh sakit, bahkan meninggal sebelum sempat melihat Ka’bah. Setiap langkah terasa sebagai ujian, tetapi niat menunaikan haji membuat setiap penderitaan menjadi ibadah.

Di Tunis dan Tripoli, Ibn Battuta menyaksikan kota-kota Islam yang ramai dan makmur. Ia menulis:

“Di setiap kota yang kulewati, pasar dipenuhi saudagar dari berbagai negeri. Aku melihat orang-orang berjual beli dengan aman, masjid berdiri megah, dan ilmu tersebar di setiap majelis.”

Di Kairo, pengalaman menjadi semakin hidup. Sungai Nil membelah kota dengan megah, masjid-masjid indah berdiri kokoh, dan pasar yang riuh membuatnya kagum. Ia belajar pada ulama setempat, menyadari bahwa perjalanan haji bukan sekadar menempuh jarak, tetapi juga membuka pintu ilmu dan pengalaman. Dari Kairo, ia melanjutkan perjalanan ke Damaskus, pusat peradaban Islam kala itu. Ibn Battuta menyerap ilmu, memperluas pandangan, dan menyaksikan betapa luas dan makmurnya dunia Islam. Ia menulis:

“Damaskus adalah kota yang penuh keindahan, masjidnya menakjubkan, penduduknya ramah, dan para ulama memenuhi majelis-majelisnya.”

Namun ujian terberat menanti di jalan menuju Hijaz. Dari Syam, ia bergabung dengan kafilah besar menuju Tanah Suci. Gurun yang membentang tanpa ujung, badai pasir yang datang tiba-tiba, dan kelangkaan air membuat perjalanan begitu menegangkan. Ibn Battuta sempat jatuh sakit, hampir tak sanggup melanjutkan. Ia menyaksikan jamaah yang meninggal di perjalanan, menegaskan bahwa haji bukan sekadar fisik, tapi ujian hati dan jiwa.

Dalam perjalanan ini, ia juga singgah di Baghdad dan Basrah. Baghdad, dengan sungai Tigris dan masjid-masjid megahnya, memberikan pengalaman yang berbeda dari kota-kota Afrika Utara. Ia menyaksikan tradisi keilmuan yang begitu kaya, dan menulis:

“Di Baghdad aku melihat para ulama membahas ilmu fiqh dan hadis dengan penuh semangat. Tidak ada kota lain yang memancarkan kemegahan ilmu seperti ini.”

Di Basrah, kota pelabuhan di tepi Teluk Persia, Ibn Battuta terpesona dengan keragaman penduduk dan perdagangan maritim. Dari sana, kafilah menuju Yaman, melewati pelabuhan-pelabuhan kecil, dataran tinggi, dan lembah yang luas. Suasana gurun menjadi semakin keras; badai pasir dan terik matahari seakan menantang setiap langkah.

Setelah menempuh ratusan kilometer melalui padang pasir dan pegunungan, tibalah saat yang paling ditunggu: Makkah. Dari kejauhan, Ka’bah tampak menjulang, hitam dan agung, dikelilingi jamaah dari berbagai negeri. Air mata mengalir deras dari matanya. Semua lelah, semua lapar, semua penderitaan lenyap saat matanya pertama kali menatap Baitullah. Ia menulis:

“Ketika aku sampai di kota suci Makkah, aku masuk Masjidil Haram dan mataku memandang Ka’bah yang mulia. Air mataku tumpah tanpa bisa kutahan, tubuhku gemetar oleh rasa syukur yang tak terhingga.”

Di Makkah, Ibn Battuta menyaksikan kesatuan umat Islam yang luar biasa. Jamaah dari India, Turki, Yaman, Mesir, hingga Maghrib berkumpul mengenakan ihram yang sama, dengan tujuan yang sama: memenuhi panggilan Allah. Ia menulis:

“Di Makkah aku melihat orang-orang dari India, Turki, Yaman, Mesir, dan Maghrib, semuanya bersatu dalam satu ibadah, seakan tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali ketakwaan.”

Puncak ibadah haji membawanya ke Padang Arafah, momen yang paling mendalam dalam perjalanan spiritualnya. Ia menulis:

“Hari di Arafah adalah hari yang paling agung. Aku melihat manusia seperti lautan yang tak bertepi, semua berseru memohon ampunan dengan suara yang mengguncang hati. Aku pun menangis, merasa kecil di hadapan kebesaran Allah.”

Setelah menunaikan manasik, Ibn Battuta tinggal beberapa bulan di Makkah. Ia menghadiri majelis ilmu, menyerap hikmah dari para ulama, dan memperdalam pemahaman tentang agama. Ia menulis:

“Aku tinggal di Makkah yang mulia, berpegang pada tali ilmu dan bergaul dengan para faqih dan ahli hadis. Tidak ada tempat di dunia yang lebih menenangkan hati selain di dekat Ka’bah.”

Menariknya, perjalanan haji ini menjadi awal dari pengembaraan panjang Ibn Battuta. Dari Makkah, ia melanjutkan perjalanan ke Irak, Persia, India, hingga Tiongkok. Total jarak yang ditempuh lebih dari seratus dua puluh ribu kilometer, menjadikannya penjelajah terbesar sebelum era modern. Namun titik awal dari semua pencapaiannya hanyalah niat sederhana untuk menunaikan ibadah haji.

Kisah perjalanan haji Ibn Battuta tetap relevan hingga hari ini. Ia mengajarkan bahwa niat tulus mampu menembus keterbatasan apa pun. Ia menunjukkan bahwa sabar adalah kunci, baik menghadapi lapar, sakit, maupun bahaya di perjalanan. Ia juga membuktikan bahwa haji bukan akhir perjalanan, tetapi awal transformasi hidup.

Bagi jamaah masa kini, perjalanan terasa sangat berbeda. Dengan pesawat, visa elektronik, layanan katering, dan tenda nyaman, perjalanan haji jauh lebih mudah dibandingkan abad ke-14. Namun semangat yang perlu dibawa tetap sama: kesungguhan hati, kesabaran dalam ujian, dan niat untuk kembali dengan jiwa yang lebih dekat kepada Allah.

Perjalanan Ibn Battuta membuktikan bahwa haji bukan sekadar ritual, melainkan perjalanan hati. Dari Tangier hingga Makkah, dari panas gurun hingga air mata syukur di depan Ka’bah, semuanya berpuncak pada pengalaman spiritual yang mengubah hidup. Kisah itu menjadi pengingat bagi kita: berangkatlah dengan hati yang ikhlas, pulanglah dengan hati yang baru, dan biarkan perjalanan mengajarkan lebih dari sekadar langkah kaki.