Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian 1): Seruan di Tengah Kezaliman
Kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam — nabi yang berdakwah selama 950 tahun menyeru kaumnya kepada tauhid, membangun bahtera atas perintah Allah, dan menghadapi banjir besar yang menenggelamkan kaum pendusta. Pelajari kisah penuh hikmah ini dalam seri artikel sejarah Islami.
SEJARAH ISLAMBLOGSEJARAHARTIKELBERITAKISAH NABISIRAH NABAWIYAHJEJAK RASUL
Ibnu Khidhir
10/21/20257 min baca


Kisah Nabi Nuh shallallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu kisah paling penting dan sarat pelajaran dalam sejarah kenabian. Kisah ini bukan sekadar kisah tentang kapal besar dan banjir yang menenggelamkan dunia, tetapi tentang perjuangan panjang seorang rasul yang menghadapi kerasnya hati manusia selama hampir satu milenium.
Dalam Al-Qur’an, nama Nabi Nuh disebut lebih dari empat puluh kali, tersebar dalam berbagai surah, di antaranya Surah Nuh, Hud, Al-Mu’minun, dan Asy-Syu’ara. Allah menjadikannya sebagai salah satu nabi Ulul Azmi — para nabi dengan keteguhan luar biasa. Dakwahnya bukan berlangsung satu atau dua dekade, melainkan selama 950 tahun.
Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.”
(QS. Al-‘Ankabut [29]: 14)
Nabi Nuh berdakwah kepada umatnya siang dan malam, dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Namun kaumnya justru menolak, menghina, dan bahkan menutup telinga mereka dengan jari, serta menutup wajah dengan kain agar tidak melihat dan mendengarnya (QS. Nuh [71]: 7). Dari sinilah kisah besar itu dimulai — kisah tentang iman yang kokoh di tengah keangkuhan manusia.
1. Latar Zaman Nabi Nuh shallallahu ‘alaihi wasallam
Para ahli tafsir dan sejarawan Islam — seperti Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah — menyebut bahwa Nuh adalah keturunan kesepuluh dari Nabi Adam ‘alaihissalam yang memiliki nama lengkap Nuh bin Lamik bin Matusyalakh bin Idris (yang dikenal sebagai Nabi Idris ‘alaihissalam).
Setelah wafatnya Nabi Adam ‘alaihissalam dan keturunannya menyebar di muka bumi, manusia hidup dalam fitrah tauhid. Mereka menyembah Allah semata dan mengenal-Nya sebagai Pencipta langit dan bumi. Namun, seiring waktu, keimanan itu mulai luntur. Ketika generasi saleh yang dahulu menjadi teladan telah tiada, muncul generasi baru yang mulai mengagungkan manusia lebih dari semestinya.
Dalam Tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa kesyirikan pertama kali muncul melalui perantara penghormatan terhadap orang-orang saleh. Kaum Nabi Nuh kala itu mengenal lima tokoh saleh bernama Wadd, Suwā‘, Yaghūth, Ya‘ūq, dan Nasr. Dalam riwayat Ibnu Abbas, disebutkan bahwa lima nama itu berasal dari orang-orang saleh yang hidup sebelum masa Nabi Nuh. Setelah mereka meninggal, setan membisikkan kepada manusia untuk membuat patung sebagai “pengingat”. Generasi berikutnya tidak tahu asal-usulnya dan akhirnya menyembah patung-patung itu sebagai tuhan (HR. Bukhari, no. 4920).
Namun generasi demi generasi berlalu — hingga patung-patung itu menjadi objek pengagungan dan akhirnya disembah sebagai tuhan selain Allah. Dari sinilah akar kesyirikan tumbuh, dan umat manusia pun terjerumus dalam kegelapan spiritual yang panjang.
Dalam situasi inilah, Allah mengutus Nuh ‘alaihissalam, seorang nabi dari kalangan mereka sendiri, untuk menyeru manusia kembali ke jalan tauhid. Nabi Nuh adalah keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Beliau bukan hanya seorang rasul pertama yang diutus kepada umat musyrik, tetapi juga dikenal sebagai Bapak kedua umat manusia, karena seluruh manusia setelah banjir besar merupakan keturunannya.
2. Dakwah Panjang dan Penuh Ujian
Nuh shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah dengan semua cara: secara rahasia dan terbuka, lembut dan tegas, pribadi dan kelompok. Namun kaumnya tidak juga beriman.
Allah mengabadikan keluhannya dalam Al-Qur’an:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, tetapi seruanku itu tidak menambah mereka kecuali lari (dari kebenaran).”
(QS. Nuh [71]: 5–6)
Nuh tidak menyerah. Ia terus menyeru mereka agar kembali kepada Allah, menjanjikan ampunan dan keberkahan hujan, pertanian, dan keturunan yang baik (QS. Nuh [71]: 10–12). Namun sebagian besar dari mereka justru menolak.
Bahkan, para pembesar mereka berkata kepada rakyatnya:
“Janganlah kamu meninggalkan sembahan-sembahanmu, terutama Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.”
(QS. Nuh [71]: 23)
Dakwah Nabi Nuh menghadapi tantangan sosial yang besar. Kaumnya tidak hanya kufur, tetapi juga membangun sistem sosial yang mengagungkan status dan kekayaan. Mereka menolak mengikuti Nuh karena para pengikutnya berasal dari kalangan miskin dan tertindas.
“Apakah kami harus beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu hanyalah orang-orang hina?”
(QS. Asy-Syu’ara [26]: 111)
Sikap ini menunjukkan bahwa penyakit kesombongan sosial sudah mengakar dalam peradaban mereka. Mereka menilai kebenaran berdasarkan status, bukan berdasarkan wahyu.
3. Permulaan Azab dan Pembangunan Bahtera
Setelah berabad-abad menyeru tanpa hasil, akhirnya nabi Nuh berdoa kepada Allah agar menurunkan keputusan-Nya. Dalam QS. Nuh [71]: 26–27, beliau berdoa:
“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang kafir itu tinggal di atas bumi...”
Doa itu bukan lahir dari amarah pribadi, tetapi dari kepedihan seorang rasul yang telah berjuang berabad-abad tanpa hasil. Maka Allah pun menurunkan wahyu agar nabi Nuh membuat bahtera besar di atas gunung, sebagai persiapan terhadap banjir besar yang akan menjadi azab bagi seluruh kaum yang ingkar.
a. Proses Pembuatan Bahtera
Dalam beberapa riwayat sebagaimana yang disebut oleh Al-Qurtubi dan Ibnu Jarir, Allah mengajarkan kepada nabi Nuh bagaimana membuat kapal: panjang, bertingkat tiga, dan cukup untuk membawa manusia serta hewan yang akan diselamatkan.
Bahtera itu disebut dalam bahasa Ibrani Tebah, yang dalam tradisi Islam berarti perahu besar dengan struktur kayu yang kokoh, seperti rumah di atas air. Disebutkan pula, nabi Nuh membuat kapal raksasa tersebut di sebuah lembah tandus yang jauh dari air. Setiap kali ia memaku papan kayu, kaumnya datang untuk menghina:
“Wahai Nuh, apakah engkau membuat kapal di tengah padang pasir? Apakah engkau telah menjadi tukang kayu gila?”
Namun beliau hanya menjawab dengan sabar:
“Jika kamu mengejek kami, maka kami pun akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek kami.”
(QS. Hud [11]: 38)
Pembuatan bahtera itu sendiri bukan hal kecil. Menurut sebagian riwayat Israiliyat (yang tidak bertentangan dengan syariat), Allah mengajarkan langsung kepada Nuh cara membuat kapal, termasuk bentuknya, bahan yang digunakan, dan sistem pengikatnya. Sebagian ahli sejarah menggambarkan kapal itu berukuran panjang sekitar 300 hasta, dengan tiga tingkat:
tingkat bawah untuk hewan,
tingkat tengah untuk manusia,
dan tingkat atas untuk burung.
b. Tanda Dimulainya Banjir
Setelah kapal selesai, Allah memerintahkan Nuh agar membawa keluarganya dan setiap jenis hewan berpasangan — jantan dan betina. Lalu datanglah tanda yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Apabila perintah Kami telah datang dan tanur telah memancarkan air...”
(QS. Hud [11]: 40)
“Tanur” dalam ayat ini menurut sebagian mufasir berarti tungku tanah liat tempat mereka biasa membuat roti, yang tiba-tiba memancarkan air — tanda bahwa bumi akan diliputi banjir besar.
Air mulai menyembur dari dalam tanah — dari tungku dan celah bumi — sementara langit mencurahkan hujan deras tanpa henti. Air dari bumi dan langit pun berpadu, menggenangi setiap lembah, rumah, dan gunung. Inilah banjir besar (thufan) yang mengguncang dunia.
c. Aspek Sejarah dan Jejak Arkeologis
Kisah banjir besar tidak hanya dikenal dalam Islam, tetapi juga tercatat dalam berbagai peradaban kuno — dari Mesopotamia, Babilonia, hingga Yunani. Dalam Epos Gilgamesh Babilonia, misalnya, disebutkan adanya “banjir raksasa” yang menenggelamkan dunia. Sebagian ahli geologi modern mencoba menelusuri jejak “banjir besar” dalam catatan bumi. Meski tafsir religius tidak bergantung pada temuan ilmiah, beberapa penelitian menemukan bukti adanya banjir raksasa purba di kawasan Mesopotamia, sekitar 5000–7000 tahun lalu — wilayah yang juga disebut sebagai daerah asal peradaban awal manusia.
Salah satu temuannya ada di Gunung Ararat, Turki Timur, ditemukan struktur kayu besar yang beberapa peneliti percaya sebagai sisa-sisa bahtera Nuh. Meskipun bukti itu masih diperdebatkan, kisah ini tetap hidup dalam tradisi berbagai agama — Islam, Kristen, dan Yahudi — sebagai simbol pembersihan bumi dari kerusakan moral.
Namun bagi umat Islam, validitas kisah ini bukan pada bukti arkeologis, melainkan pada wahyu yang pasti benar. Al-Qur’an menegaskan bahwa banjir Nuh adalah tanda kebesaran Allah dan pelajaran bagi generasi setelahnya.
d. Tragedi di Tengah Gelombang
Salah satu bagian paling menyedihkan dari kisah ini adalah saat Nabi Nuh memanggil anaknya yang kafir untuk naik ke kapal:
“Wahai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.”
(QS. Hud [11]: 42)
Namun sang anak menjawab dengan kesombongan:
“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkanku dari air bah.”
(QS. Hud [11]: 43)
Nuh menjawab lirih:
“Tidak ada yang dapat melindungi hari ini dari azab Allah, kecuali yang dirahmati-Nya.”
Lalu gelombang datang di antara keduanya, dan anaknya pun tenggelam.
Tragedi ini menggambarkan bahwa ikatan darah tidak dapat menggantikan iman. Keselamatan datang hanya melalui ketaatan kepada Allah, bukan karena nasab.
e. Awal Peradaban Baru
Air terus naik hingga menenggelamkan semua gunung, kecuali kapal Nabi Nuh yang berlayar dengan izin Allah. Setelah azab selesai, Allah berfirman:
“Wahai bumi, telanlah airmu! Wahai langit, berhentilah menurunkan hujan!”
(QS. Hud [11]: 44)
Bahtera itu akhirnya berlabuh di atas Gunung Judi — yang menurut banyak ahli tafsir berada di kawasan tenggara Turki modern, dekat wilayah Syam dan Irak (ada yang menyebutkan Gunung Ararat). Dari sanalah umat manusia memulai kehidupan baru.
Nuh dan para pengikutnya menjadi cikal bakal generasi berikutnya. Karena itu, ia dijuluki “Abu al-Basyar ats-Tsani” (Bapak Manusia Kedua) setelah Adam ‘alaihissalam.
5. Hikmah dari Kisah Nabi Nuh shallallahu ‘alaihi wasallam
Dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam tidaklah mudah. Seruan tauhid yang beliau bawa dihadapkan dengan kesombongan dan keangkuhan kaumnya. Selama berabad-abad, Nabi Nuh menyeru manusia untuk kembali kepada Allah — siang dan malam, secara rahasia maupun terang-terangan. Namun hanya sedikit yang beriman, sementara mayoritas menolak dengan alasan yang sama: “Kami tidak melihatmu melainkan seorang manusia seperti kami.” (QS. Hūd: 27)
Mereka menghina, mengejek, dan mengancam Nabi Nuh, bahkan menutup telinga agar tidak mendengar kebenaran. Dalam menghadapi semua itu, beliau tetap sabar, penuh kasih, dan terus berdoa agar Allah memberi petunjuk kepada mereka. Hingga akhirnya, ketika kesesatan telah mencapai puncak dan tidak ada lagi harapan akan keimanan, Allah memerintahkan Nuh untuk membuat bahtera — tanda bahwa keputusan Ilahi telah tiba.
Peristiwa itu menjadi titik balik sejarah umat manusia. Dari keangkuhan kaum yang menolak kebenaran, hingga munculnya banjir besar yang menenggelamkan dunia lama — semuanya menjadi pelajaran bahwa kebenaran pasti menang, dan kesombongan manusia takkan mampu melawan kehendak Allah
Kisah Nabi Nuh shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kisah tentang iman yang melawan arus. Ia tidak hanya mengajarkan tentang bahtera kayu yang menyelamatkan manusia, tetapi tentang bahtera iman yang menyelamatkan dari kebinasaan moral.
📖 Seri Selanjutnya:
Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian 2): Misteri Gunung Judi dan Jejak Bahtera yang Hilang
Dalam bagian berikutnya (bagian 2), kita akan menelusuri bagaimana bahtera raksasa itu dibangun, di mana Gunung Judi berada menurut riwayat Islam, serta jejak peninggalan yang hingga kini masih menjadi misteri besar dalam sejarah manusia.
Baca Juga:
>>Perjalanan Lintas Waktu: Festival Modern Souq Ukaz di Arab Saudi
>>Keindahan Tersembunyi di Kota Taif, Makkah, Saudi Arabia
>>Kisah Inspiratif Perjalanan Haji Ibnu Battuta
>>Mengapa Nabi Hijrah Ke Madinah? Ini Alasannya!
>>Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah
>>Manasik Umrah Lengkap 2025: Panduan Doa, Tata Cara, dan Tips Jamaah
>>Niat Umrah Bersyarat: Doa Arab, Terjemahan, dan Penjelasan Lengkap
>>Fast Track Raudhah: Apa Itu, Cara Daftar, dan Keuntungan bagi Jamaah
>>Rahasia Bisa Masuk Raudhah Lebih dari Sekali dalam Sehari
>>Misteri dan Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah
>>Panduan Aplikasi Nusuk 2025: Cara Daftar, Booking Raudhah, dan Fast Track
>>Bolehkah Perempuan Melaksanakan Umrah Saat Haid? Begini Penjelasan Ulama
>>Berapakah Tarif Biaya Badal Umrah 2025?
>>Mengapa Umrah Disebut Haji Kecil? Ini Dia Sejarahnya!
>>Inilah Alasan Mengapa Ka'bah Dipenuhi Oleh Berhala Pada Masa Jahiliyah!
