Mengenal Rukun, Wajib, dan Syarat Sah Haji: Panduan Lengkap Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah

Pelajari perbedaan antara rukun, wajib, dan syarat sah haji menurut Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Artikel ini membahas dasar hukumnya, tata urutannya, serta makna spiritual di balik setiap amalan haji.

ARTIKELBLOGFIQHUMRAH MANDIRIMANASIKTIPS

Ibnu Khidhir

11/13/20255 min baca

Ibadah haji adalah perjalanan agung yang telah Allah wajibkan bagi hamba-hamba-Nya yang mampu. Sejak pertama kali Allah memanggil Ibrahim ‘Alaihissalam untuk menyeru manusia berhaji, jutaan jiwa dari berbagai penjuru bumi menjawab panggilan itu dari masa ke masa. Rasa takjub, haru, rindu, dan kepasrahan menyatu dalam satu perjalanan suci yang puncaknya hanya terjadi sekali dalam setahun—yakni ketika umat Islam memadati Arafah.

Namun, agar perjalanan mulia ini benar-benar diterima dan dinilai sah oleh Allah, seorang muslim harus memahami tiga hal penting, yaitu syarat sah, rukun, dan wajib haji. Tiga kategori ini menentukan apakah ibadah haji seseorang sempurna, kurang sempurna, atau bahkan tidak sah sejak awal.

1. Syarat Sah Haji

Syarat sah ibadah bisa diibaratkan sebagai fondasi sebuah bangunan. Jika fondasinya tidak ada atau rapuh, bangunan itu tidak mungkin berdiri, seindah apa pun dinding dan atapnya. Dalam ibadah haji, syarat sah adalah ketentuan yang harus terpenuhi sebelum seseorang mulai berniat dan masuk ihram.

Berikut penjelasan syarat-syaratnya:
  1. Islam

    Seseorang tidak mungkin menunaikan haji jika ia belum memeluk Islam, karena ibadah ini adalah salah satu bentuk ketaatan tertinggi kepada Allah.


    Allah berfirman:

    قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

    "Katakanlah (Muhammad): Wahai orang-orang kafir!"
    (QS. Al-Kāfirūn: 1)

    Maknanya, ibadah adalah hak istimewa orang beriman. Ulama sepakat bahwa segala ibadah, termasuk haji, tidak diterima dari orang kafir.

  2. Berakal

    Haji adalah rangkaian ibadah yang dipenuhi makna dan tuntunan. Karena itu, tidak dibebankan kepada orang gila atau siapa pun yang kehilangan akal dan kesadaran.

    Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

    رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

    “Pena (catatan dosa dan pahala) diangkat dari tiga golongan: orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia berakal.”
    (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

  3. Baligh

    Seorang anak kecil boleh berhaji dan mendapatkan pahala, tetapi haji itu tidak menggugurkan kewajibannya kelak ketika dewasa. Ini seperti seseorang melatih diri dalam ibadah, bukan melunasi kewajiban.

    Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

    رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلِهَذَا حَجٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ

    “Seorang wanita mengangkat anak kecilnya dan berkata: Wahai Rasulullah, apakah anak ini mendapatkan haji? Beliau menjawab: Ya, dan engkau pun mendapat pahala.”
    (HR. Muslim no. 1336)

  4. Mampu (Istithā‘ah)

    Inilah syarat yang sering menjadi bahan diskusi ulama.

    Berdasarkan firman Allah SWT:

    وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

    “Dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi siapa yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.”
    (QS. Āli ‘Imrān: 97)

    Menurut ulama, kemampuan ini mencakup:

    1. Mampu secara fisik

    Jika tidak mampu berjalan atau bergerak namun masih memiliki harta → boleh badal haji (diwakilkan).

    2. Mampu secara finansial

    Harus memiliki biaya perjalanan dan biaya hidup keluarga yang ditinggalkan.

    3. Aman dalam perjalanan

    Ulama klasik menambahkan syarat keamanan, mengingat perjalanan jauh yang dulu penuh risiko.

    Bahkan, dalam mazhab Maliki, jika seseorang mampu berjalan kaki meski berat, tetap wajib berangkat — ini pandangan paling ketat.

2. Rukun Haji

Rukun haji ibarat organ vital dalam tubuh. Jika salah satu organ ini hilang, seluruh ibadah tidak dapat hidup. Tidak bisa diganti dengan dam atau fidyah; harus dilaksanakan. Terdapat enam rukun haji menurut jumhur ulama:

  1. Ihram (الْإِحْرَامُ)

    Ihram bukan sekadar mengenakan kain putih, tetapi melepas seluruh identitas duniawi. Seorang raja, pejabat, atau rakyat jelata—semua menjadi sama di hadapan Allah.

    Ihram dimulai dengan niat:

    لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا


    “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk berhaji.”

  2. Wukuf di Arafah (الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ)

    Inilah momen ketika jutaan manusia pada waktu yang sama berkumpul di satu padang luas, Arafah. Bahkan Rasulullah menegaskan:

    الْحَجُّ عَرَفَةُ

    “Haji itu adalah wukuf Arafah.”
    (HR. Tirmidzi, no. 889)

    Jika seseorang tidak berada di Arafah walau sebentar antara zuhur 9 Zulhijjah hingga fajar 10 Zulhijjah — hajinya batal. Arafah bukan sekadar tempat berdiri. Ulama mengatakan: Tidak ada hari ketika Allah membebaskan hamba-hamba-Nya dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah.

  3. Thawaf Ifadhah (الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ)

    Setelah Arafah, jamaah kembali ke Masjidil Haram. Thawaf Ifadhah adalah thawaf wajib yang tidak bisa ditinggalkan.


    Dalilnya:

    ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

    “Kemudian hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan mengelilingi Baitullah yang tua (Ka‘bah).”
    (QS. Al-Ḥajj: 29)

  4. Sa‘i antara Shafa dan Marwah (السَّعْيُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ)

    Ini adalah salah satu ritual paling menyentuh. Seorang ibu, Hajar, berlari tujuh kali antara dua bukit demi mencari air untuk anaknya. Allah abadikan perjuangannya:

    إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ

    “Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk sebagian dari syiar Allah.”
    (QS. Al-Baqarah: 158)

    Sa‘i dilakukan setelah thawaf, bukan sebelumnya.

  5. Tahallul (الْتَحَلُّلُ)

    Tahallul adalah mencukur atau memendekkan rambut. Untuk laki-laki, mencukur habis (halq) lebih utama. Perempuan cukup memotong sedikit.

    Allah menyebutkan:

    لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ ۚ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ

    “Sungguh Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya, bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram dengan aman, dengan mencukur dan memendekkan rambutmu.”
    (QS. Al-Fath: 27)

    Setelah tahallul, larangan ihram mulai gugur.

  6. Tertib (التَّرْتِيبُ)

    Rukun dilakukan secara berurutan seperti yang dicontohkan Rasulullah. Para ulama menganggap tertib sebagai rukun agar manasik tetap teratur sesuai sunnah Nabi.

3. Wajib Haji

Wajib haji adalah bagian yang harus dilakukan, tetapi jika ditinggalkan haji tetap sah, hanya saja jamaah wajib membayar dam.

Tujuh wajib haji menurut jumhur ulama:
  1. Ihram dari Miqat

    Setiap jamaah harus masuk ihram dari batas wilayah (miqat) yang telah ditetapkan Nabi. Jika melewati tanpa ihram—harus kembali. Jika tidak kembali, wajib dam. Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

    هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ

    “Tempat-tempat miqat itu adalah bagi penduduknya dan bagi orang lain yang melewati tempat itu untuk haji atau umrah.”
    (HR. Bukhari dan Muslim)

  2. Mabit di Muzdalifah

    Malam setelah Arafah, jamaah berhenti di Muzdalifah. Gunanya:

    – beristirahat
    – mengumpulkan kerikil untuk melempar jumrah
    – berzikir di Masy‘aril Haram

    Mayoritas ulama mewajibkan minimal berhenti sebentar.

    Firman Allah SWT:

    فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

    “Berzikirlah kepada Allah di Masy‘aril Haram (Muzdalifah).”
    (QS. Al-Baqarah: 198)

  3. Mabit di Mina pada Hari Tasyriq

    Pada hari-hari tasyrik (11–13 Zulhijjah), jamaah bermalam di Mina. Ini mengikuti perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bermalam di Mina pada hari-hari tasyriq dan bersabda:

    خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

    “Ambillah dariku tata cara manasik kalian.”

    (HR. Muslim)

  4. Melontar Jumrah

    Melontar jumrah adalah simbol perlawanan terhadap godaan dan ketaatan mutlak kepada Allah, mengingat kembali kisah Nabi Ibrahim. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melontar jumrah pada tiap hari tasyriq dan sambil membaca:

    اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ

    (HR. Bukhari)

  5. Thawaf Wada‘ (Perpisahan)

    Ini adalah thawaf perpisahan sebelum meninggalkan Makkah. Seolah jamaah berkata,


    “Wahai Baitullah, aku akan kembali lagi jika Allah mengizinkan.”

    Wanita haid dikecualikan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

    لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ

    “Janganlah seseorang meninggalkan (Makkah) sebelum menjadikan thawaf di Ka‘bah sebagai amalan terakhirnya.”
    (HR. Muslim)

  6. Tidak Melakukan Rafats, Fusuq, dan Jidal

    Haji bukan hanya ritual fisik, tetapi juga pendidikan karakter dan hati.

    Firman Allah SWT:

    فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

    “Barang siapa telah menetapkan niat haji, maka tidak boleh rafats (ucapan kotor), fusuq (maksiat), dan jidal (berdebat) dalam haji.”
    (QS. Al-Baqarah: 197)

  7. Menyembelih Dam bagi yang Meninggalkan Wajib

    Dam adalah bentuk penyempurnaan ketika seseorang tidak mampu melaksanakan salah satu kewajiban haji.

4. Perbedaan antara Rukun, Wajib, dan Syarat Sah

Memahami perbedaan antara syarat sah, rukun, dan wajib haji sangat penting agar ibadah dilakukan sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Syarat sah haji adalah ketentuan yang harus sudah terpenuhi sebelum ibadah dimulai, seperti Islam, berakal, baligh, dan mampu. Jika syarat ini tidak ada, maka haji tidak sah meskipun seluruh manasik dilakukan.

Sementara itu, rukun haji adalah inti ibadah seperti ihram, wukuf, thawaf ifadhah, dan sa‘i. Rukun tidak bisa diganti dengan apa pun; meninggalkannya membuat haji batal dan harus diulang. Adapun wajib haji seperti mabit, melontar jumrah, dan thawaf wada‘, meskipun bukan bagian inti, tetap wajib ditunaikan. Jika ada yang terlewat, haji tetap sah tetapi harus diganti dengan dam.

Dengan mengetahui perbedaannya, jamaah dapat menunaikan haji dengan hati yang lebih tenang. Haji bukan sekadar perjalanan fisik menuju Tanah Suci, tetapi perjalanan hati menuju kepasrahan total kepada Allah SWT, dimulai dari niat yang benar hingga pelaksanaan manasik yang tertib dan penuh kesadaran.

خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

“Ambillah dariku tata cara manasik kalian.”
(HR. Muslim)

Semoga artikel ini membantu para calon jamaah memahami manasik haji secara benar dan menunaikannya dengan penuh kesempurnaan.

Baca Juga:
>>Perjalanan Lintas Waktu: Festival Modern Souq Ukaz di Arab Saudi
>>Keindahan Tersembunyi di Kota Taif, Makkah, Saudi Arabia
>>Kisah Inspiratif Perjalanan Haji Ibnu Battuta
>>Mengapa Nabi Hijrah Ke Madinah? Ini Alasannya!
>>Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah

>>Manasik Umrah Lengkap 2025: Panduan Doa, Tata Cara, dan Tips Jamaah
>>Niat Umrah Bersyarat: Doa Arab, Terjemahan, dan Penjelasan Lengkap
>>Fast Track Raudhah: Apa Itu, Cara Daftar, dan Keuntungan bagi Jamaah
>>Rahasia Bisa Masuk Raudhah Lebih dari Sekali dalam Sehari

>>Misteri dan Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah

>>Panduan Aplikasi Nusuk 2025: Cara Daftar, Booking Raudhah, dan Fast Track
>>Bolehkah Perempuan Melaksanakan Umrah Saat Haid? Begini Penjelasan Ulama

>>Berapakah Tarif Biaya Badal Umrah 2025?
>>Mengapa Umrah Disebut Haji Kecil? Ini Dia Sejarahnya!
>>Inilah Alasan Mengapa Ka'bah Dipenuhi Oleh Berhala Pada Masa Jahiliyah!