Jangan lewatkan paket umrah promo spesial bulan oktober tahun 2025...

Rindu Pemimpin Ulama: Mengapa Kekuasaan Tanpa Ilmu Hanya Akan Menyesatkan Umat?

Kekuasaan tanpa ilmu sering kali menjerumuskan pada arogansi, salah arah, dan bahkan kerusakan yang masif.

OPINIBLOGARTIKEL

Ibnu Khidhir

7/15/20254 min baca

Di tengah derasnya arus perubahan zaman, masyarakat Muslim dunia kerap dihadapkan pada kenyataan yang membingungkan: pemimpin datang silih berganti, namun krisis kepercayaan terus terulang. Banyak pemimpin hebat dalam administrasi, kuat dalam strategi, dan piawai dalam pidato. Namun tetap saja, ada kerinduan kolektif yang tak pernah padam: kehadiran pemimpin yang juga ulama, pemimpin yang memadukan otoritas dunia dengan cahaya ilmu dan keteladanan agama.

Kerinduan ini bukan sekadar nostalgia. Sejarah Islam mengajarkan, saat kekuasaan berpadu dengan ilmu dan akhlak, maka lahirlah peradaban gemilang yang membawa rahmat bagi semesta. Umat Islam, dari masa ke masa, membutuhkan sosok yang bisa menjadi penuntun bukan hanya dalam urusan negara, tapi juga dalam urusan hati, moral, dan kehidupan spiritual.

Ilmu Adalah Pilar Kepemimpinan Sejati

Mengapa kepemimpinan berbasis ilmu begitu dirindukan? Sebab, kekuasaan tanpa ilmu sering kali menjerumuskan pada arogansi, salah arah, dan bahkan kerusakan yang masif. Ilmu adalah pelita yang membimbing pemimpin mengambil keputusan adil, menjaga amanah, dan menghadirkan maslahat bagi umat.
Seorang pemimpin berilmu tidak sekadar mengatur administrasi, tetapi mampu membimbing masyarakat dengan hikmah. Ia tahu kapan harus tegas, kapan harus lembut, dan selalu mengedepankan nilai-nilai kebenaran di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Abdullah bin Abbas: Teladan Abadi Pemimpin dan Ulama

Jika kita menoleh ke sejarah Islam, nama Abdullah bin Abbas menonjol sebagai contoh paling nyata pemimpin sekaligus ulama. Beliau adalah sepupu Rasulullah ﷺ, didoakan langsung oleh Nabi agar Allah memberikan pemahaman agama yang mendalam dan kemampuan menafsirkan Al-Qur’an. Tak heran, dalam usia muda, Ibnu Abbas sudah dikenal luas sebagai lautan ilmu (‘Hibrul Ummah’).

Namun, kehebatan Ibnu Abbas tidak hanya di bidang ilmu. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, ia dipercaya menjadi gubernur Basrah. Basrah, pada masa itu, adalah kota besar yang menjadi pusat perdagangan, ilmu, sekaligus rawan konflik politik. Namun Ibnu Abbas mampu memimpin dengan kepala dingin, selalu mendahulukan musyawarah, dan mengedepankan pendidikan agama serta dialog.

Setiap sore, Ibnu Abbas mengadakan majelis tafsir dan diskusi keagamaan. Ia menulis fatwa, membimbing masyarakat, dan mendamaikan berbagai faksi yang bertikai. Pendekatannya yang ilmiah dan humanis membuatnya dihormati semua kalangan—baik ulama, pejabat, maupun rakyat biasa. Ia tidak pernah memisahkan peran sebagai pemimpin dan guru umat, dua peran yang justru saling melengkapi.

Kepemimpinan Berbasis Ilmu: Tradisi Emas Umat Islam

Abdullah bin Abbas bukan satu-satunya. Islam sejak awal sudah melahirkan tradisi pemimpin ulama. Khalifah Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai orator dan penulis hikmah yang menginspirasi; Umar bin Abdul Aziz, sang Khalifah Bani Umayyah, adalah pembaru sosial yang sangat mencintai ilmu, hingga dijuluki sebagai "Khalifah kelima"; Imam Syafi’i, meski bukan raja, menjadi pemimpin dunia ilmu yang fatwanya ditaati ratusan juta Muslim hingga hari ini.

Apa yang membuat kepemimpinan ulama begitu istimewa?

  • Pemimpin berilmu menjaga hati dari kesombongan. Ia sadar kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa.

  • Mereka membangun dialog dan tradisi musyawarah. Masyarakat merasa didengar, bukan sekadar diperintah.

  • Mereka menjadi mercusuar moral, penyeimbang di tengah gempuran duniawi. Hikmah, pengalaman, dan kedalaman ilmu membuat kebijakan mereka membawa kebaikan jangka panjang.

Antara Ilmu dan Kekuasaan: Harmoni yang Dirindukan

Kini, banyak masyarakat Muslim merasa ada jurang antara penguasa dan ulama. Penguasa sibuk dengan pembangunan fisik dan ekonomi, ulama terpinggirkan di pinggir masjid dan majelis kecil. Padahal, sejarah membuktikan: peradaban besar lahir ketika kekuasaan dan ilmu saling menguatkan.

Kekuasaan tanpa ilmu menumbuhkan tirani; ilmu tanpa peran sosial hanya menjadi wacana. Gabungkan keduanya, maka lahir pemimpin visioner: adil dalam putusan, sabar menghadapi ujian, dan tangguh membimbing perubahan.

Benarkah Sulit Menemukan Pemimpin Ulama Hari Ini?

Di era globalisasi, spesialisasi dan profesionalisme memang penting. Banyak pemimpin lahir dari jalur birokrasi, ekonomi, atau militer. Namun, fakta ini tidak memadamkan kerinduan pada pemimpin yang mengerti agama, cinta ilmu, dan mampu jadi teladan.

Umat Islam masa kini lelah dengan polarisasi, janji kosong, dan narasi politik yang membelah masyarakat. Rakyat butuh pemimpin yang hadir di tengah mereka, bukan sekadar dalam spanduk atau tayangan televisi. Pemimpin yang mampu menjadi “imam” dan “umara”—baik di atas mimbar maupun di forum kebijakan.

Meneladani Ibnu Abbas di Zaman Kini

Apa yang bisa kita lakukan agar semangat Ibnu Abbas tetap hidup di era modern ini?

Pertama, pemimpin harus rendah hati belajar. Abdullah bin Abbas terkenal karena sikapnya yang tidak malu bertanya kepada sahabat senior, meskipun ia sepupu Nabi.
Kedua, bangun budaya diskusi dan tradisi musyawarah. Ibnu Abbas selalu mengedepankan dialog, tidak suka memaksakan kehendak.
Ketiga, umat harus kritis dan mendukung pemimpin yang berintegritas. Jangan terjebak popularitas semu atau gelar kosong; carilah pemimpin yang punya rekam jejak keilmuan dan moral.
Keempat, rawat harapan dan kerinduan pada kepemimpinan ulama. Jangan pernah lelah mendoakan lahirnya pemimpin-pemimpin berilmu yang jadi pelita zaman.

Kepemimpinan Ulama: Relevansi Sepanjang Zaman

Mungkin sebagian beranggapan, pemimpin ulama hanya mitos masa lalu. Namun realitanya, dalam banyak momen krisis, suara ulama selalu dinanti: meneduhkan, menasihati, dan menuntun masyarakat keluar dari kebuntuan. Tak jarang, ulama justru jadi juru damai saat para politisi berseteru.

Kita butuh pemimpin yang mengayomi dengan ilmu, bukan sekadar mengatur dengan aturan. Yang menuntun dengan keteladanan, bukan hanya menggerakkan birokrasi. Yang bisa menjawab persoalan umat, baik dengan argumen logis maupun dalil agama.

Kehadiran pemimpin ulama seperti Abdullah bin Abbas mengingatkan kita bahwa kolaborasi antara ilmu dan kekuasaan adalah kunci perubahan besar. Dunia yang beradab, damai, dan sejahtera hanya mungkin terwujud jika pemimpin tidak kehilangan ruh ilmu dan nilai-nilai agama.

Kini, tugas kita sebagai umat adalah menjaga semangat itu: meneladani Ibnu Abbas, menghidupkan budaya belajar, dan mendukung lahirnya pemimpin-pemimpin yang jadi cahaya bagi masyarakat. Semoga Allah menganugerahkan kepada umat Islam, di mana pun berada, sosok pemimpin ulama yang menginspirasi, membimbing, dan menuntun kita menuju kebaikan dunia dan akhirat.

Bagaimana pendapat Anda tentang pemimpin ulama? Apakah Anda punya pengalaman bertemu pemimpin yang juga guru agama? Ceritakan di kolom komentar dan bagikan artikel ini agar lebih banyak yang terinspirasi!