Tariq bin Ziyad: Api yang Mengubah Sejarah (Bagian 2)
Kisah legendaris Tariq bin Ziyad membuka pintu Andalusia. Dari langkah berani di Jabal Tariq hingga lahirnya Cordoba dan Granada, inilah jejak peradaban Islam yang mengubah sejarah dunia, menghadirkan kejayaan ilmu, seni, dan arsitektur yang menerangi Eropa.
SEJARAH ISLAMSEJARAHINSPIRASIARTIKELWISATA RELIGIEROPA
Ibnu Khidhir
10/14/20256 min baca


Tariq bin Ziyad (Bagian 2)
Kemenangan Tariq bin Ziyad di medan Guadalete hanyalah awal dari kisah besar yang kelak menjadikan Andalusia sebagai salah satu permata peradaban Islam. Dari tanah yang semula dilanda konflik dan perebutan kekuasaan, lahirlah sebuah negeri yang berkilau dengan masjid megah, perpustakaan besar, serta kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Api yang menyala dari tekad Tariq tidak hanya mengubah nasib pasukannya, tetapi juga mengguncang wajah sejarah Eropa selama berabad-abad.
Andalusia: Dari Tanah Konflik Menjadi Negeri Damai
Setelah kemenangan di Guadalete, Tariq bin Ziyad bergerak cepat menaklukkan kota-kota penting Andalusia. Cordoba jatuh, lalu diikuti Toledo—ibukota kerajaan Visigoth—hingga akhirnya sebagian besar semenanjung Iberia berada dalam kendali Muslim.
Namun, yang lebih menarik dari sekadar penaklukan adalah cara pasukan Islam memperlakukan penduduk setempat. Berbeda dengan kebiasaan perang di Eropa yang sering disertai pembantaian, umat Islam membawa keadilan yang tertulis dalam syariat. Rakyat diberikan jaminan keselamatan jiwa dan harta. Mereka yang beragama Nasrani dan Yahudi tidak dipaksa memeluk Islam, melainkan diberi kebebasan beribadah dengan kewajiban membayar jizyah sebagai bentuk perlindungan.
Keadilan ini membawa perubahan besar. Banyak penduduk yang merasa lebih aman dan sejahtera di bawah pemerintahan Muslim dibandingkan pada masa penguasa Visigoth. Perlahan, Andalusia tumbuh menjadi negeri makmur, di mana masyarakat dari berbagai agama hidup berdampingan dengan damai.
Jejak Tariq bin Ziyad di Jabal Tariq
Nama Tariq bin Ziyad tidak pernah hilang dari peta dunia. Gunung tempat ia pertama kali mendarat di Spanyol diberi nama Jabal Tariq—yang dalam lidah Barat berubah menjadi “Gibraltar.” Hingga kini, selat sempit yang memisahkan Eropa dan Afrika itu tetap menjadi pengingat bahwa dari sanalah sejarah besar dimulai.
Jabal Tariq bukan hanya simbol geografis, tetapi juga simbol tekad. Dari tebing batu yang menjulang itu, Tariq memandang ke daratan yang kelak menjadi negeri penuh cahaya. Ia datang dengan pasukan yang sedikit, namun dengan keyakinan yang besar.
Hingga hari ini, wisatawan Muslim yang berkunjung ke Gibraltar kerap merenung di kaki gunung itu, membayangkan bagaimana pasukan muda penuh semangat itu mendarat dengan kapal sederhana, lalu menyalakan api tekad yang mengguncang dunia. Nama Tariq seolah abadi di setiap batu karang yang berdiri di sana.
Musa bin Nushair dan Penguatan Andalusia
Setelah mendengar kabar kemenangan besar Tariq, Musa bin Nushair, gubernur Ifriqiya, menyeberang ke Andalusia dengan tambahan pasukan sekitar 18.000 orang. Bersama Tariq, ia memperkuat kedudukan umat Islam di semenanjung Iberia. Kota-kota besar seperti Zaragoza dan Seville jatuh, sementara banyak bangsawan Visigoth menyerah tanpa perlawanan berarti.
Namun, hubungan antara Tariq dan Musa tidak selalu mulus. Sebagian catatan menyebutkan adanya ketegangan karena Tariq dianggap bergerak terlalu cepat tanpa menunggu instruksi. Meski demikian, keduanya tetap memainkan peran besar dalam memastikan Andalusia berada di bawah kendali Islam.
Setelah itu, baik Tariq maupun Musa dipanggil ke Damaskus oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Meski Tariq tidak lagi banyak tercatat dalam catatan sejarah setelah pemanggilan itu, warisan yang ia tinggalkan jauh lebih besar daripada sekadar kemenangan militer. Ia telah membuka pintu bagi lahirnya peradaban Islam di Eropa.
Cordoba: Cahaya Baru Dunia
Setelah penaklukan yang gemilang di semenanjung Iberia, Andalusia segera berubah menjadi tanah harapan baru di bawah kepemimpinan Islam. Dari berbagai kota yang berkembang pesat, Córdoba muncul sebagai pusat pemerintahan sekaligus simbol kemakmuran dan kemajuan. Terletak di tepi Sungai Guadalquivir, Córdoba tidak hanya strategis secara geografis, tetapi juga menjadi jantung peradaban baru yang memadukan kekuatan militer, politik, dan ilmu pengetahuan. Di masa Dinasti Umayyah, terutama pada masa Khalifah Abdurrahman III dan penerusnya, kota ini tumbuh menjadi salah satu kota terbesar dan paling berpengaruh di dunia.
Gambaran Córdoba pada masa itu sungguh menakjubkan. Jalan-jalannya telah diterangi lampu minyak—sebuah kemewahan yang bahkan belum dikenal di sebagian besar kota Eropa. Pasar-pasar berjejer rapi dengan pedagang dari Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa yang saling bertukar barang dan ide. Di tengah kota berdiri Masjid Agung Córdoba (La Mezquita), mahakarya arsitektur Islam dengan lengkungan ganda berwarna merah-putih dan lebih dari 800 tiang marmer. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga simbol spiritual dan intelektual—pusat dakwah, pendidikan, dan kebudayaan Islam di Barat.
Kemajuan Córdoba bukan sekadar dalam hal arsitektur atau ekonomi. Kota ini menjadi mercusuar ilmu pengetahuan. Pada puncaknya, tercatat lebih dari 70 perpustakaan berdiri di kota tersebut, termasuk perpustakaan khalifah yang menyimpan lebih dari 400.000 manuskrip—jumlah yang luar biasa untuk masa itu. Di sampingnya, ratusan madrasah dan sekolah dibangun, mengajarkan berbagai disiplin ilmu mulai dari kedokteran, matematika, astronomi, hingga filsafat. Para pelajar dari seluruh dunia datang menuntut ilmu, termasuk dari Eropa utara yang kala itu masih terperosok dalam abad kegelapan.
Sosok-sosok besar lahir dari rahim Córdoba. Di antaranya Ibnu Rushd (Averroes), filsuf yang gagasannya tentang rasionalitas memengaruhi pemikiran Eropa berabad-abad kemudian; Az-Zahrawi (Abulcasis), bapak bedah modern yang menulis ensiklopedia medis; serta Ibnu Hazm, ulama dan pemikir besar dalam bidang fikih dan sastra. Kota ini menjadi ruang terbuka bagi pertukaran ilmu antara umat Islam, Yahudi, dan Kristen—suatu bentuk toleransi dan kolaborasi yang langka pada zamannya. Di Córdoba, ilmu bukan hanya milik satu agama atau bangsa, melainkan cahaya yang menerangi seluruh manusia.
Perbandingan antara Córdoba dan kota-kota Eropa lain pada masa itu sangat kontras. Ketika London, Paris, dan Roma masih berjuang melawan wabah, lumpur, dan ketidakteraturan, Córdoba sudah memiliki sistem saluran air, rumah-rumah bertingkat, serta jalan-jalan batu yang bersih. Cahaya lampu yang menghiasi malamnya menjadi simbol nyata dari terangnya peradaban Islam di tengah kegelapan Eropa. Para sejarawan Barat kemudian mengakui bahwa gelombang pengetahuan dari Andalusia, khususnya Córdoba, menjadi bahan bakar utama bagi kelahiran Renaissance—zaman kebangkitan ilmu dan seni di Eropa.
Semua kejayaan itu bermula dari langkah berani seorang panglima bernama Tariq bin Ziyad, yang menyeberangi laut dari Afrika Utara menuju tanah Eropa dengan keyakinan teguh. Dari nyala api yang membakar kapalnya, lahirlah nyala ilmu yang menyinari dunia. Córdoba menjadi bukti nyata bahwa Islam bukan hanya agama yang mengajarkan ibadah, tetapi juga membangun peradaban—peradaban yang meninggalkan jejak abadi pada sejarah manusia.
Granada: Permata Andalusia
Selain Córdoba, Granada juga berdiri sebagai simbol puncak kejayaan Islam di Spanyol. Terletak di kaki pegunungan Sierra Nevada, kota ini menjadi benteng terakhir kekuasaan Islam di Andalusia yang bertahan hingga akhir abad ke-15. Dari kejauhan, siluet Alhambra tampak megah di atas bukit Sabika — sebuah kompleks istana, benteng, dan taman yang dibangun oleh Dinasti Nasrid. Keindahan arsitekturnya, dengan ukiran kaligrafi Arab yang memadukan puisi dan spiritualitas, membuat siapa pun yang memandangnya tertegun. Hingga kini, Alhambra masih berdiri kokoh, menjadi saksi bisu dari masa ketika Islam bukan sekadar kekuasaan politik, tetapi juga peradaban yang berjiwa seni dan ilmu.
Granada tidak hanya dikenal karena arsitekturnya yang menakjubkan, tetapi juga karena atmosfer intelektualnya. Di masa kejayaannya, kota ini menjadi rumah bagi para penyair, ilmuwan, dan filsuf yang menggabungkan tradisi Arab, Berber, dan Eropa. Perpustakaan-perpustakaan di Granada menyimpan ribuan manuskrip tentang astronomi, kedokteran, hingga filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Para ulama dan cendekiawan berdiskusi di madrasah, sementara seniman menciptakan karya yang memadukan nilai Islam dan estetika Mediterania.
Lebih dari sekadar pusat pemerintahan, Granada adalah taman ilmu dan budaya. Musik Andalusia yang lahir di kota ini kemudian menyebar hingga Afrika Utara dan Timur Tengah, menjadi inspirasi bagi tradisi musik klasik di dunia Islam. Sementara itu, gaya arsitektur dan motif hiasannya memengaruhi desain bangunan di seluruh Eropa selatan. Dari Granada pula muncul karya sastra dan puisi yang menggambarkan cinta, keindahan, dan kerinduan spiritual — warisan yang hingga kini masih dikagumi para sejarawan dan pecinta seni.
Andalusia di bawah kekuasaan Islam bukanlah tanah penaklukan semata, tetapi tanah peradaban yang hidup. Dari Granada, gelombang ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam mengalir ke seluruh Eropa, membawa cahaya rasionalitas di tengah abad kegelapan. Musik, filsafat, dan puisi dari Andalusia menjadi fondasi penting bagi kebangkitan intelektual Eropa. Bahasa Arab bahkan meninggalkan jejak mendalam dalam bahasa Spanyol — kata-kata seperti almohada (bantal), azúcar (gula), aceite (minyak), dan algebra berasal dari bahasa Arab, bukti betapa kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Iberia.
Kini, Granada tetap menjadi destinasi spiritual dan sejarah yang tak pernah kehilangan pesonanya. Wisatawan dari seluruh dunia datang menyusuri lorong-lorong sempit Albayzín, mendengar lantunan azan yang kadang masih bergema di antara bukit, dan menyaksikan kemegahan Alhambra saat matahari terbenam. Di setiap sudutnya, seolah masih tercium aroma masa lalu — masa ketika Islam menerangi Eropa bukan dengan pedang, melainkan dengan pena, seni, dan cahaya ilmu yang abadi.
Api yang Abadi
Ketika kita berbicara tentang Tariq bin Ziyad, yang selalu muncul adalah api—api yang membakar kapal, api yang membakar semangat, dan api yang mengubah sejarah. Namun, api itu tidak padam setelah pertempuran selesai. Api itu justru menjelma menjadi cahaya yang menyinari Eropa selama berabad-abad.
Andalusia menjadi saksi bagaimana Islam membawa keadilan, ilmu, dan seni ke jantung dunia Barat. Meski pada akhirnya kekuasaan Islam di Spanyol runtuh setelah jatuhnya Granada pada 1492, jejak itu tidak pernah hilang. Perpustakaan, istana, dan bahkan kosakata yang digunakan orang Spanyol hingga kini adalah bukti nyata betapa dalamnya pengaruh Islam.
Kisah Tariq bin Ziyad adalah kisah tentang tekad dan tawakal. Dari seorang panglima muda yang berani menyeberangi lautan dengan pasukan kecil, lahir sebuah peradaban besar yang memengaruhi dunia. Andalusia menjadi pusat cahaya di Eropa, tempat ilmu pengetahuan, filsafat, dan seni berkembang dengan gemilang.
Api yang membakar kapal di pantai Spanyol itu memang sebuah tindakan dramatis, tetapi lebih dari itu, ia adalah simbol keyakinan bahwa jalan menuju kebaikan harus ditempuh dengan keberanian. Dari api itulah lahir Andalusia, permata peradaban Islam yang sinarnya masih terasa hingga hari ini.
Baca Juga:
>>Perjalanan Lintas Waktu: Festival Modern Souq Ukaz di Arab Saudi
>>Keindahan Tersembunyi di Kota Taif, Makkah, Saudi Arabia
>>Kisah Inspiratif Perjalanan Haji Ibnu Battuta
>>Mengapa Nabi Hijrah Ke Madinah? Ini Alasannya!
>>Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah
>>Manasik Umrah Lengkap 2025: Panduan Doa, Tata Cara, dan Tips Jamaah
>>Niat Umrah Bersyarat: Doa Arab, Terjemahan, dan Penjelasan Lengkap
>>Fast Track Raudhah: Apa Itu, Cara Daftar, dan Keuntungan bagi Jamaah
>>Rahasia Bisa Masuk Raudhah Lebih dari Sekali dalam Sehari
>>Misteri dan Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah
>>Panduan Aplikasi Nusuk 2025: Cara Daftar, Booking Raudhah, dan Fast Track
>>Bolehkah Perempuan Melaksanakan Umrah Saat Haid? Begini Penjelasan Ulama
>>Berapakah Tarif Biaya Badal Umrah 2025?
>>Mengapa Umrah Disebut Haji Kecil? Ini Dia Sejarahnya!
>>Inilah Alasan Mengapa Ka'bah Dipenuhi Oleh Berhala Pada Masa Jahiliyah!
>>Ini dia, 6 Kota di Dunia yang Menjadi Pusat Peradaban Islam