Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian 3): Doa Sang Nabi dan Kebangkitan Peradaban Baru
Dalam Kisah Nabi Nuh Bagian 2 ini mengulas misteri perjalanan bahtera Nabi Nuh ‘alaihissalam saat banjir besar melanda dunia, hingga berlabuh di Gunung Judi sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an. Simak juga penelusuran jejak sejarah dan temuan arkeolog modern yang mencoba menguak keberadaan bahtera legendaris tersebut .
SEJARAH ISLAMBLOGSEJARAHARTIKELBERITAKISAH NABISIRAH NABAWIYAHJEJAK RASUL
Ibnu Khidhir
11/8/20254 min baca


Setelah berabad-abad berdakwah tanpa lelah, Nabi Nuh ‘alaihissalam akhirnya menerima wahyu yang menandai berakhirnya masa peringatan dan dimulainya masa hukuman. Kaumnya telah menolak, bahkan memperolok beliau ketika sedang menegakkan kebenaran. Maka Allah menurunkan keputusan-Nya — membangun sebuah bahtera besar yang akan menyelamatkan orang-orang beriman dari bencana yang tak pernah disaksikan manusia sebelumnya.
1. Perintah Membangun Bahtera
Dalam Surah Hud ayat 36–37, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَأُوحِيَ إِلَىٰ نُوحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلَّا مَنْ قَدْ آمَنَ فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ. وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ.
“Dan diwahyukan kepada Nuh bahwa: ‘Tidak akan beriman di antara kaummu kecuali orang yang telah beriman, maka janganlah engkau bersedih karena apa yang mereka perbuat. Dan buatlah bahtera dengan pengawasan dan petunjuk Kami; dan janganlah engkau berbicara kepada-Ku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka akan ditenggelamkan.’”
(QS. Hūd: 36–37)
Wahyu ini turun sebagai perintah langsung, mengisyaratkan bahwa saat itu masa rahmat telah berganti menjadi masa keadilan. Nabi Nuh pun mulai membangun bahtera di sebuah daerah yang tidak memiliki laut. Para ahli tafsir seperti Ibn Katsir dan Ath-Thabari meriwayatkan bahwa beliau membangunnya di dataran tinggi, mungkin di daerah Mesopotamia bagian utara, di antara sungai Tigris dan Eufrat. Namun, Setiap kali Nabi Nuh membawa kayu, membuat papan demi papan, untuk membangun kapal tersebut, kaumnya datang menghina.
“Mengapa engkau membuat kapal di atas daratan, wahai Nuh?”
Namun beliau menjawab dengan sabar, sebagaimana Allah sebutkan dalam Al Quran:
“Jika kalian mengejekku, maka aku pun akan mengejek kalian sebagaimana kalian mengejekku.” (QS. Hūd: 38)
2. Ukuran dan Bentuk Bahtera
Menurut riwayat yang dikumpulkan oleh Al-Qurthubi dan Ibn Jarir Ath-Thabari, bahtera Nabi Nuh adalah kapal raksasa, jauh lebih besar dari ukuran kapal mana pun di zamannya. Allah sendiri yang memberikan petunjuk mengenai bentuk, ukuran, dan bahan yang digunakan.
Beberapa riwayat menyebut:
Panjangnya sekitar 300 hasta,
Lebarnya 50 hasta,
Tingginya 30 hasta,
yang jika dikonversi ke ukuran modern kira-kira sepanjang 150 meter dengan tinggi sekitar 15 meter. Bahtera itu memiliki tiga tingkat:
Tingkat bawah untuk hewan dan ternak,
Tingkat tengah untuk manusia,
Tingkat atas untuk burung dan perbekalan.
Bahtera itu dibuat dari papan kayu pilihan (QS. Al-Qamar: 13 — “على ذات ألواح ودسر”) dan dipaku dengan besi, suatu teknologi yang sangat maju untuk zamannya. Tafsir Ar-Razi menyebut bahwa pembuatan bahtera itu sendiri merupakan mu‘jizah (keajaiban) karena Nuh sebelumnya bukanlah tukang kayu, melainkan seorang nabi yang diilhamkan ilmu langsung dari Allah.
3. Saat Air Mulai Naik: Awal Banjir Besar
Ketika segala persiapan selesai dan bahtera telah berdiri kokoh, datanglah tanda yang dijanjikan oleh Allah. Dalam Surah Al-Mu’minun ayat 27 disebutkan:
فَفَارَ التَّنُّورُ فَاسْلُكْ فِيهَا مِن كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلَّا مَن سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ مِنْهُمْ
“Maka ketika perintah Kami datang dan tanur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu masing-masing dua dari segala jenis, serta keluargamu kecuali orang yang telah ditetapkan ketentuan terhadapnya.’”
Istilah “tanur” (tungku) di sini menjadi tanda awal banjir besar. Air keluar bukan hanya dari langit, tetapi juga dari perut bumi. Tafsir klasik menyebut bahwa air memancar dari setiap celah bumi, hingga dalam sekejap seluruh daratan berubah menjadi lautan luas.
Langit pun menurunkan hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُّنْهَمِرٍ. وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَىٰ أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ.
“Kami bukakan pintu-pintu langit dengan air yang tercurah, dan Kami pancarkan bumi dengan mata air, maka bertemulah air itu pada suatu ketentuan yang telah ditetapkan.” (QS. Al-Qamar: 11–12)
4. Naiknya Bahtera dan Tenggelamnya Kaum Nuh
Nabi Nuh memerintahkan para pengikutnya — orang-orang beriman yang jumlahnya hanya sedikit — untuk naik ke atas bahtera. Bersama mereka, beliau membawa pasangan-pasangan hewan dan segala bekal kehidupan.
وَقَالَ ارْكَبُوا فِيهَا بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا ۚ إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ.
“Dan Nuh berkata: ‘Naiklah kalian ke dalamnya dengan nama Allah ketika berlayar dan ketika berlabuh. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Hūd: 41)
Air naik semakin tinggi hingga menenggelamkan gunung-gunung. Dikisahkan, gelombang air setinggi gunung menggulung segala sesuatu di bumi. Tak satu pun yang tersisa dari kaum yang ingkar. Bahkan, salah seorang putra Nabi Nuh — yang menolak naik ke bahtera karena merasa aman di atas gunung — ikut binasa. Kisah ini diabadikan dalam QS. Hūd: 42–43, di mana Nuh memanggil anaknya dengan hati seorang ayah, namun anak itu menjawab dengan kesombongan dan akhirnya tenggelam.
قَالَ سَآوِي إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَ ۚ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ.
5. Gunung Judi: Tempat Berlabuh Bahtera
Setelah bumi dilanda air bah selama berbulan-bulan, Allah memerintahkan bumi untuk menyerap air dan langit untuk berhenti menurunkan hujan. Maka surutlah air, dan bahtera itu akhirnya berlabuh di suatu tempat yang disebut Gunung Judi.
وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ.
“Dan difirmankan: ‘Wahai bumi, telanlah airmu, dan wahai langit, berhentilah!’ Maka air pun disurutkan, perintah telah diselesaikan, dan bahtera itu berlabuh di atas Gunung Judi. Dan dikatakan: ‘Binasalah orang-orang yang zalim itu.’” (QS. Hūd: 44)
Gunung Judi disebut berada di kawasan utara Mesopotamia, di perbatasan Turki-Irak modern, tepatnya di wilayah Şırnak, dekat sungai Tigris. Dalam literatur Arab klasik, Al-Mas‘udi dan Yaqut al-Hamawi menyebut gunung ini berada di sekitar Nisibin dan Mosul. Beberapa ekspedisi arkeologi modern juga mengidentifikasi sebuah area bernama Cudi Dağı (Gunung Judi) yang memiliki formasi batu menyerupai dasar kapal purba.
Penelitian kontemporer di daerah ini menemukan struktur kayu membatu dan lapisan tanah liat yang menunjukkan adanya banjir besar ribuan tahun lalu. Namun, hingga kini, keberadaan fisik bahtera Nuh tetap menjadi misteri, meskipun banyak ekspedisi dilakukan — dari Gunung Ararat di Turki hingga kawasan Armenia dan Irak Utara.
6. Jejak Bahtera dan Warisan Peradaban Pasca Banjir
Setelah air benar-benar surut, Nabi Nuh dan para pengikutnya turun dari bahtera. Mereka sujud bersyukur, lalu memulai kehidupan baru di bumi yang telah dibersihkan dari kesyirikan. Dari keturunan mereka inilah lahir generasi baru manusia.
قِيلَ يَا نُوحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِّنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَىٰ أُمَمٍ مِّمَّن مَّعَكَ ۚ وَأُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُم مِّنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ.
Ulama menafsirkan ayat ini sebagai awal peradaban manusia kedua — sebab semua generasi setelahnya adalah keturunan Nabi Nuh. Maka beliau disebut sebagai “Abu al-Basyar ats-Tsani” (Bapak Manusia Kedua).
Dalam catatan sejarah, banyak bangsa kuno yang memiliki kisah serupa dengan kisah Nabi Nuh, seperti dalam Epos Gilgamesh di Mesopotamia dan kisah banjir dalam mitologi Yunani. Fakta ini menunjukkan bahwa banjir besar Nabi Nuh benar-benar meninggalkan jejak global dalam memori umat manusia.
Kisah Nabi Nuh bukan sekadar sejarah kuno atau kisah mukjizat semata, melainkan refleksi spiritual tentang iman, kesabaran, dan keadilan Allah.
Bahtera Nuh menjadi simbol perlindungan bagi mereka yang berpegang pada wahyu, sementara banjir besar menjadi peringatan bagi yang menolak kebenaran.
Dalam tafsir Ibn Katsir, disebutkan bahwa kisah ini adalah pelajaran bagi seluruh umat manusia agar tidak sombong terhadap perintah Allah. Setiap zaman memiliki “banjirnya” sendiri — bisa berupa fitnah, hawa nafsu, atau kesesatan — dan hanya orang yang berimanlah yang akan “selamat naik ke bahtera ketaatan.”
📖 Seri Selanjutnya:
Kisah Nabi Nuh (Bagian 4): Misteri Keturunan Nuh dan Awal Bangsa-Bangsa Dunia
Kita akan menelusuri bagaimana keturunan Nuh menyebar ke berbagai wilayah, membentuk peradaban awal manusia, dan bagaimana ajaran tauhid diteruskan di antara bangsa-bangsa kuno.
Baca Juga:
>>Perjalanan Lintas Waktu: Festival Modern Souq Ukaz di Arab Saudi
>>Keindahan Tersembunyi di Kota Taif, Makkah, Saudi Arabia
>>Kisah Inspiratif Perjalanan Haji Ibnu Battuta
>>Mengapa Nabi Hijrah Ke Madinah? Ini Alasannya!
>>Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah
>>Manasik Umrah Lengkap 2025: Panduan Doa, Tata Cara, dan Tips Jamaah
>>Niat Umrah Bersyarat: Doa Arab, Terjemahan, dan Penjelasan Lengkap
>>Fast Track Raudhah: Apa Itu, Cara Daftar, dan Keuntungan bagi Jamaah
>>Rahasia Bisa Masuk Raudhah Lebih dari Sekali dalam Sehari
>>Misteri dan Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah
>>Panduan Aplikasi Nusuk 2025: Cara Daftar, Booking Raudhah, dan Fast Track
>>Bolehkah Perempuan Melaksanakan Umrah Saat Haid? Begini Penjelasan Ulama
>>Berapakah Tarif Biaya Badal Umrah 2025?
>>Mengapa Umrah Disebut Haji Kecil? Ini Dia Sejarahnya!
>>Inilah Alasan Mengapa Ka'bah Dipenuhi Oleh Berhala Pada Masa Jahiliyah!
