Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian 4): Misteri Keturunan Nuh dan Awal Bangsa-Bangsa Dunia
Kita akan menelusuri bagaimana keturunan Nuh menyebar ke berbagai wilayah, membentuk peradaban awal manusia, dan bagaimana ajaran tauhid diteruskan di antara bangsa-bangsa kuno.
SEJARAH ISLAMBLOGSEJARAHARTIKELBERITAKISAH NABIARTIKEL BERSERICERITA BERSERI
Ibnu Khidhir
11/22/20256 min baca


Setelah gelombang besar itu mereda, dunia memasuki lembaran baru. Air yang pernah menenggelamkan gunung-gunung kini berangsur surut, meninggalkan bumi yang seolah dilahirkan kembali. Di puncak Gunung Judi, bahtera besar yang dibangun dengan sabar dan doa berbulan-bulan kini beristirahat dengan tenang. Di sanalah, Nabi Nuh ‘alaihissalam dan para pengikutnya menatap hamparan bumi yang telah dibersihkan dari kezaliman — tanah yang siap menumbuhkan kembali kehidupan dan peradaban manusia.
Namun kehidupan pasca-banjir bukan sekadar kisah tentang permulaan baru, melainkan juga tentang amanah besar: membangun dunia dengan landasan tauhid dan menurunkan generasi yang mengenal Allah. Dari keturunan Nabi Nuh inilah lahir berbagai bangsa di muka bumi — dengan bahasa, warna kulit, dan kebudayaan yang beragam — tetapi berasal dari satu akar yang sama.
Bagian keempat dari seri kisah ini akan menelusuri jejak keturunan Nabi Nuh yang menjadi cikal bakal bangsa-bangsa besar dunia, dari lembah Mesopotamia hingga gurun Arabia, dari lembah Nil hingga perbatasan Timur Jauh. Kita akan melihat bagaimana pesan tauhid diwariskan, bagaimana peradaban manusia tumbuh kembali dari kehancuran, dan bagaimana kisah Nuh menjadi fondasi spiritual bagi sejarah seluruh umat manusia.
1. Awal Peradaban Baru di Kaki Gunung Judi
Banjir besar telah surut. Daratan yang dulunya ditelan samudra kini mulai mengering. Awan menyingkir perlahan, dan matahari memancarkan sinarnya pada hamparan bumi yang baru saja “dibersihkan” oleh ketetapan Allah. Bahtera Nabi Nuh ‘alaihissalam berlabuh di puncak Gunung Judi, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:
وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan bahtera itu berlabuh di Gunung Judi, dan dikatakan: ‘Binasalah orang-orang zalim itu.’”
(QS. Hūd [11]: 44)
Dari tempat tinggi di utara Mesopotamia itu, kehidupan manusia dimulai kembali. Tak ada satu pun manusia yang tersisa di luar keturunan Nabi Nuh dan pengikutnya. Mereka yang selamat menjadi benih baru peradaban dunia. Nuh sendiri hidup cukup lama setelah peristiwa banjir, membimbing keturunannya untuk memulai kembali kehidupan dengan dasar tauhid, keadilan, dan ketekunan bekerja.
Riwayat menyebutkan bahwa setelah banjir, Nuh hidup sekitar 350 tahun lagi, mengajarkan syariat dan menegakkan kembali ibadah kepada Allah. Ia menjadi semacam “Bapak kedua umat manusia”, sebagaimana Adam menjadi bapak pertama. Karena itu, dalam sebagian tafsir, Nuh digelari “Abu al-Bashar ats-Tsani” — manusia kedua yang darinya lahir keturunan seluruh bangsa di bumi.
2. Tiga Putra Nuh dan Persebaran Manusia
Dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit nama anak-anak Nabi Nuh selain Kan‘an (yang ingkar). Namun sumber-sumber klasik Islam dan catatan sejarah kuno menyebutkan bahwa Nuh memiliki tiga anak yang menjadi leluhur berbagai bangsa di dunia:
Sām (سام) – leluhur bangsa-bangsa Semitik (Arab, Ibrani, Aram, dan sebagian Persia).
Hām (حام) – leluhur bangsa-bangsa Afrika dan sebagian bangsa pesisir Asia.
Yāfīts (يافث) – leluhur bangsa-bangsa Eropa, Turki, Kaukasus, dan Timur Jauh.
Pembagian ini tidak sekadar legenda, tetapi menjadi dasar dalam banyak catatan sejarah Timur Dekat kuno, termasuk dalam naskah Taurat, kronik Babilonia, dan riwayat tafsir Islam klasik seperti karya Ibnu Katsir, ath-Thabari, dan as-Suyuthi.
2.1. Keturunan Sām: Dari Timur Tengah ke Jazirah Arab
Dari keturunan Sām inilah lahir bangsa-bangsa yang kelak membawa risalah para nabi. Ia menjadi leluhur bagi Arab, Ibrani (Bani Israil), Aram, dan Persia kuno. Nama “Semitik” yang digunakan dalam linguistik modern pun berasal dari kata “Sām”.
Riwayat Ibnu Ishaq menyebut bahwa dari garis Sām lahir tokoh bernama ‘Ārim, lalu Hud (Eber), yang menjadi nenek moyang Nabi Ibrāhīm ‘alaihissalam. Dari Ibrahim, garis ini berlanjut ke dua cabang besar:
Ismail → bangsa Arab dan Nabi Muhammad Shallallahu "Alaihi Wasallam.
Ishaq → bangsa Israil dan para nabi Bani Israil.
Persebaran keturunan Sām terjadi di kawasan Mesopotamia, Syam (Levant), dan Arabia. Mereka dikenal sebagai bangsa yang memiliki tradisi wahyu, menulis, dan bahasa yang berakar pada satu rumpun — rumpun Semitik. Di masa-masa awal, mereka membangun kota-kota pertama setelah banjir, seperti Uruk, Akkad, Babel, dan Aram.
2.2. Keturunan Hām: Bangsa Afrika dan Wilayah Selatan
Putra kedua, Hām, disebut sebagai leluhur bangsa-bangsa di wilayah selatan dan barat. Dari keturunannya lahir bangsa Mesir (Mishr), Etiopia (Habasyah), Kanaan, serta bangsa-bangsa di Afrika Utara.
Dalam literatur Arab-Islam klasik, Hām sering dikaitkan dengan peradaban besar Mesir Kuno. Sebagian mufassir, seperti as-Suyuthi, menafsirkan bahwa Raja Mesir (Fir‘aun) adalah dari keturunan Hām melalui jalur Mishraim, sehingga ia disebut sebagai orang Qibthi (Mesir).
Keturunan Hām dikenal sebagai bangsa yang kuat secara fisik dan unggul dalam seni arsitektur serta pengairan. Mereka mengembangkan sistem pertanian besar di sepanjang Sungai Nil, membangun piramida, dan menulis dengan hieroglif — peninggalan yang masih menakjubkan hingga kini.
2.3. Keturunan Yāfīts: Bangsa-Bangsa Utara dan Timur
Yāfīts (Japheth) adalah anak ketiga, dan darinyalah lahir bangsa-bangsa di wilayah utara dan timur bumi — Eropa, Kaukasus, Asia Tengah, dan Timur Jauh. Dalam riwayat tafsir disebutkan beberapa keturunannya, seperti Magog (Ya’juj), Gomer, Meshek, Tubal, dan Tarshish.
Para sejarawan Muslim seperti al-Mas‘udi dan Ya‘qubi menyebut bahwa dari garis Yāfīts inilah muncul bangsa Turki, Romawi, Slavia, bahkan Cina. Karena itu, dalam literatur Islam abad pertengahan, istilah “Bani Yāfīts” sering digunakan untuk menyebut bangsa-bangsa di luar wilayah Arab dan Afrika.
3. Dari Tiga Garis Menjadi Dunia
Seiring waktu, keturunan Nuh menyebar dari wilayah Gunung Judi dan lembah Tigris-Efrat ke berbagai arah. Ada yang menetap di lembah subur Mesopotamia, ada yang melintasi gurun menuju Syam dan Arabia, dan sebagian lagi menyeberang ke Mesir dan kawasan Laut Tengah.
Proses penyebaran ini menghasilkan tiga kelompok besar budaya dunia:
Bangsa Semitik – mewarisi tradisi kenabian dan bahasa wahyu.
Bangsa Hamitik – mengembangkan seni, pertanian, dan arsitektur.
Bangsa Yafitsik – membangun sistem sosial dan militer kuat, serta menguasai wilayah luas.
Ilmuwan modern mengakui bahwa Mesopotamia adalah “cradle of civilization” — buaian peradaban manusia. Hal ini sejalan dengan narasi Islam bahwa kehidupan manusia bermula kembali di sana setelah banjir besar. Dari lembah ini lahir kota-kota pertama, tulisan pertama (paku Sumeria), dan sistem pemerintahan tertua.
4. Warisan Spiritual Nabi Nuh di Tengah Bangsa-Bangsa
Meskipun keturunan Nuh menyebar dan berkembang menjadi bangsa-bangsa dengan bahasa dan budaya berbeda, pesan tauhid yang dibawa oleh Nuh tetap meninggalkan jejak mendalam.
4.1. Tauhid yang Menciptakan Tradisi Kenabian
Nuh bukan hanya pembawa peringatan bagi kaumnya, tetapi juga pendiri garis risalah yang berlanjut ke para nabi setelahnya. Dalam banyak ayat, Allah menyebutkan bahwa setiap nabi datang membawa misi yang sama:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا وَإِبْرَاهِيمَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِمَا النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ
“Dan sungguh Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan pada keturunan mereka kenabian dan kitab.”
(QS. Al-Hadīd [57]: 26)
Artinya, garis kenabian yang lahir dari Nuh — melalui Sam dan Ibrahim — adalah kelanjutan dari perjanjian tauhid. Itulah sebabnya, dalam setiap risalah para nabi, selalu ada pengingat tentang kisah Nuh dan bahteranya, sebagai simbol keselamatan bagi orang beriman.
4.2. Jejak Kisah Banjir dalam Mitologi Dunia
Menariknya, kisah banjir besar tidak hanya ditemukan dalam Al-Qur’an atau Taurat, tetapi juga dalam mitologi dan prasasti berbagai bangsa kuno. Di antara yang paling terkenal adalah:
Epos Gilgamesh (Sumeria): menceritakan Utnapishtim yang diselamatkan dari banjir besar dengan bahtera.
Mitologi Hindu (Manu): tokoh bernama Manu diselamatkan oleh dewa Wisnu dalam bentuk ikan raksasa.
Kisah Aztec dan Maya di Amerika Tengah: menyebutkan manusia selamat dari air bah dengan berlindung di atas gunung.
Kesamaan ini menunjukkan bahwa peristiwa banjir besar Nabi Nuh memang nyata secara historis, dan jejaknya diwariskan dalam ingatan kolektif umat manusia di berbagai tempat — meski dengan versi yang terdistorsi seiring perjalanan waktu.
5. Kebangkitan Peradaban dan Awal Penyimpangan Baru
Setelah ratusan tahun berlalu, keturunan Nuh semakin banyak dan menyebar luas. Mereka membangun kota, berdagang, dan membentuk sistem sosial yang maju. Namun sebagaimana hukum sejarah manusia, kejayaan selalu diikuti kelalaian.
Beberapa generasi setelah Nuh mulai melupakan pesan tauhid. Mereka membangun patung-patung untuk mengenang orang saleh, lalu menyembahnya. Dari sinilah muncul kembali penyimpangan spiritual — yang pada akhirnya melahirkan kaum ‘Ād, Tsamūd, dan Babilonia, hingga Allah mengutus nabi-nabi berikutnya.
“Dan mereka berkata: Janganlah kamu meninggalkan sembahan-sembahanmu, dan jangan meninggalkan Wadd, Suwā‘, Yaghūts, Ya‘ūq, dan Nasr.”
(QS. Nūh [71]: 23)
Nama-nama ini adalah berhala generasi setelah Nuh, yang menunjukkan bagaimana penyimpangan bisa lahir dari penghormatan yang berlebihan terhadap orang saleh.
6. Simbol Bahtera dalam Kesadaran Umat
Bahtera Nabi Nuh bukan sekadar kapal kayu raksasa yang menyelamatkan manusia dan hewan dari banjir besar. Ia menjadi simbol penyelamatan spiritual — lambang dari iman yang teguh di tengah badai dunia.
Bagi umat Islam, kisah Nuh mengajarkan bahwa dalam setiap masa, manusia membutuhkan “bahtera” untuk bertahan dari gelombang kebinasaan moral dan fitnah zaman. Bahtera itu hari ini bisa berupa:
Ketaatan kepada wahyu dan sunnah.
Ilmu yang benar yang menjaga manusia dari kesesatan.
Ukhuwah (persaudaraan) di antara orang-orang beriman yang menjadi sandaran ketika dunia porak-poranda.
Sebagaimana Nuh menyelamatkan umatnya dengan bahtera fisik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyelamatkan umatnya dengan bahtera iman dan syariat.
Kisah Nabi Nuh tidak berhenti di atas Gunung Judi. Dari keturunannya, dunia terbentang dengan segala bangsa, bahasa, dan peradaban. Namun di balik semua itu, mengalir satu pesan yang sama: tauhid adalah akar kehidupan manusia.
Peradaban bisa runtuh, bahasa bisa hilang, kerajaan bisa berganti, tetapi iman kepada Allah yang dibawa oleh Nuh adalah warisan yang kekal. Dan selama manusia mengingat kisah ini, mereka akan selalu menemukan arah pulang — ke peradaban yang berakar pada wahyu.
📖 Seri Sebelumnya:
Kisah Nabi Nuh 'Alaihissalam (Bagian 3): Doa Sang Nabi dan Kebangkitan Peradaban Baru
Dalam bagian ketiga, kita akan menelusuri kehidupan Nabi Nuh setelah banjir besar: bagaimana beliau menata umat baru, doa-doa yang diabadikan dalam Al-Qur’an, serta makna perjanjian baru antara Allah dan manusia.
Baca Juga:
>>Perjalanan Lintas Waktu: Festival Modern Souq Ukaz di Arab Saudi
>>Keindahan Tersembunyi di Kota Taif, Makkah, Saudi Arabia
>>Kisah Inspiratif Perjalanan Haji Ibnu Battuta
>>Mengapa Nabi Hijrah Ke Madinah? Ini Alasannya!
>>Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah
>>Manasik Umrah Lengkap 2025: Panduan Doa, Tata Cara, dan Tips Jamaah
>>Niat Umrah Bersyarat: Doa Arab, Terjemahan, dan Penjelasan Lengkap
>>Fast Track Raudhah: Apa Itu, Cara Daftar, dan Keuntungan bagi Jamaah
>>Rahasia Bisa Masuk Raudhah Lebih dari Sekali dalam Sehari
>>Misteri dan Alasan Abrahah Ingin Menghancurkan Kabah
>>Panduan Aplikasi Nusuk 2025: Cara Daftar, Booking Raudhah, dan Fast Track
>>Bolehkah Perempuan Melaksanakan Umrah Saat Haid? Begini Penjelasan Ulama
>>Berapakah Tarif Biaya Badal Umrah 2025?
>>Mengapa Umrah Disebut Haji Kecil? Ini Dia Sejarahnya!
>>Inilah Alasan Mengapa Ka'bah Dipenuhi Oleh Berhala Pada Masa Jahiliyah!
